Tugas Kelompok Mahasiswa
Psikologi Kepribadian
Analisa Biografi Nelson Mandela
Menurut Teori Post-Freudian Erik
Erikson
Disusun Oleh :
Vidianto Risan (13120018)
Selvi (13120005)
Putri Firdaus (13120038)
Willy
Sohlehudin (13120015)
Program Studi Psikologi – Shanty,
S.Psi., M.Si
Universitas Bunda Mulia
2013
A. Pendahuluan
Kehidupan
diskriminasi merupakan hal yang biasa dilakukan para penjajah yang menduduki
tanah jajahannya. Mereka akan mengesampingkan penduduk pribumi dan mementingkan
kepentingan diri sendiri, atau bahkan mengeksploitasi pribumi untuk kepentingan
mereka sendiri. Tiap daerah memiliki sebutan sendiri-sendiri untuk konsep
‘diskriminasi’ seperti Inkwisisi di Spanyol dan Amerika Latin, Segregasi di
Amerika Serikat, dan Apartheid di Afrika Selatan. Banyak tokoh-tokoh penentang
diskriminasi semacam ini seperti Santo Juan Diego di Amerika Latin, Rev. Martin
Luther King. Jr di Amerika Serikat, dan yang terakhir Nelson Mandela di Afrika
Selatan.
Kehidupan
manusia yang menindas dan tertindas di Afrika Selatan merupakan pemicu
terjadinya perlawanan Mandela. Seruan Mandela yang selalu mengedepankan aksi
damai adalah upaya Mandela untuk menunjukkan contoh, bagaimana kita menyuarakan
pendapat kita untuk menghapus kekerasan namun tanpa kekerasan. Sepenggal pidato
Mandela yang terkenal, “Aku berjuang menentang dominasi kulit putih, menentang
dominasi kulit hitam. Aku membawa gagasan tentang masyarakat yang demokratis
dan bebas”.
Sifat,
perilaku, dan aksi-aksi Mandela ini mengundang berbagai simpati dan dukungan
dari khalayak ramai dan inilah yang menguatkan Mandela dalam setiap
perjuangannya. Dalam setiap seruannya, Mandela meminta setiap orang yang
mengikutinya untuk mengedepankan nilai-nilai kasih dan damai dengan mengambil
contoh Mahatma Gandhi. Mandela percaya bahwa kekerasan akan membangkitkan
kekerasan yang lebih buruk. Maka dari itu, Mandela memberikan jiwa dan raganya
untuk mengajarkan orang-orang akan pentingnya menyuarakan pendapat tanpa
kekerasan dan pertumpahan darah. Konsep demokratis dan nasionalis ditawarkan
Mandela sebagai upaya persatuan antara kulit hitam dan kulit putih dalam
usahanya membangun Afrika Selatan yang lebih baik dan lebih layak tanpa
pembedaan kasta, strata, suku, ras, dan jabatan.
Perilaku
Nelson Mandela yang lebih banyak berkutat pada hubungan sosial dan
interpersonal ini akan kami bahas menggunakan teori Post-Freudian dari Erik
Erikson yang lebih menekankan pengaruh masyarakat terhadap tumbuh kembang rasa
ego manusia itu sendiri. Sudut pandang teori ini tentunya memberikan beberapa
pesan dan kesan yang berbeda daripada teori-teori sosial psikoanalitik dan
teori interpersonal.
B. Analisa Umum
Kehidupan Nelson Mandela
Bagi
Erikson, Ego adalah penciptaan kekuatan yang positif yang ‘menciptakan’
identitas diri manusia, sebuah ke-aku-an. Ego yang mula-mula mendasari Mandela
adalah pandangannya pada usia 10 tahun yang mempertanyakan keadaan Afrika
Selatan dengan hukum apartheid kepada pamannya. Ke-aku-an Mandela sebagai
“aku’” yang berkulit hitam menciptakan identitas diri sebagai “aku” yang
tersingkir atau “aku” yang terbuang, hingga munculah Ego untuk memperoleh
penghormatan dan pengakuan akan kulit hitam. Jika diibaratkan kuda (menurut
Freud), Mandela adalah ‘ego’ yang menunggangi kuda ‘id’ dalam satu trek yang
bernama ‘super-ego’. Sekeras apapun Mandela mencambuk kuda ‘id’ untuk berbelok
keluar jalur trek, si kuda akan tetap berjalan searah dengan jalur trek
‘superego’ dan tidak akan melenceng, itulah konsep Freud. Namun beda bagi
Erikson. Menurut Erikson, kuda ‘id’ adalah kuda yang dikendalikan oleh Mandela ‘ego’
dan bukannya dikendalikan oleh jalur trek ‘superego’. Ego sebagai pusat kendali
yang mengontrol id, itulah konsep Erikson.
Dapat
kita lihat bahwa Mandela (Ego), menerobos sekat-sekat pembatas bagi kulit putih
dan kulit hitam melalui aksi-aksi demo tanpa kekerasannya (Id) yang
menghancurkan hegemoni UU apartheid di Afrika Selatan (Super-Ego). Sedianya,
jika Freud mengatakan bahwa Ego akan selalu berkonflik dengan Superego dan
dimenangkan oleh Superego, Erikson menyetujuinya, hanya saja, ego dan superego
dapat di ‘damai’ kan dengan pengontrolan id yang positif dari ego itu sendiri.
Maka dari itu, Erikson mendefinisikan ego sebagai kemampuan pribadi untuk
menyatukan pengalaman dan tindakan dengan cara yang adaptif (Erikson, 1963).
Dalam
ego-tubuh, Mandela menggali
pengalaman yang ia dapatkan dan melihat dirinya berbeda dengan orang lain.
Mandela bukan hanya melihat pengalaman “diri fisik” nya saja, namun juga ‘diri
batinnya”. Sebuah pemikiran yang mendorongnya untuk sadar, bagaimana dengan
fisiknya yang kian berkembang, maka berkembang juga pola pikirnya sebagai orang
yang ‘paham’. Mandela mengidamkan kehidupan yang bersatu antara kulit hitam dan
putih, dan baginya itu adalah sesuatu yang ideal. Perasaan ego-ideal inilah yang mampu mengukur sejauh mana harapan dan
cita-cita Mandela terhadap impiannya itu dapat terwujud nyata sehingga
memuaskan dirinya. Mandela membangun ego-identitasnya
dengan berbagai peranan sosial yang digelutinya, baik sebagai suami untuk
istrinya, bapak untuk anaknya, dan warga negara untuk negaranya. Mandela
memposisikan dirinya dalam peran yang ia mainkan di seluruh rantai kehidupannya
dan Mandela telah memutuskan untuk berperan menjadi seorang pembela hak-hak
kaum kulit hitam hingga akhir hayatnya.
Erikson
mengatakan bahwa ego muncul kebanyakan karena dibentuk oleh masyarakat. Pada
saat manusia lahir, ego hadir hanya sebagai potensi, namun, untuk menjadi
aktual dia harus hadir dalam lingkungan kultural. Ego Mandela (seperti yang
dijelaskan diatas), terbentuk atas pengaruh lingkungan masyarakat yang
diskriminatif. Potensi dan indikasi ego Mandela muncul pertama kali saat ia
berumur 10 tahun yang menanyakan pada pamannya mengapa harus ada hukum seperti
apartheid. Pandangannya yang mempertanyakan pemisahan antara kulit putih
(sejahtera) dan kulit hitam (menderita) padahal ini adalah tanah kulit hitam
merupakan batu loncatan pertama dari pola-pola perkembangan Mandela
selanjutnya. Potensi Mandela ini menjadi aktual tatkala ia meneruskan sekolahnya
di SMA, dimana ia dapat berinteraksi dengan orang-orang kulit hitam senasib.
Namun,
Erikson mengatakan lagi bahwa Pengaruh Masyarakat
yang berbeda, dengan variasi pengasuhan anak yang berbeda cenderung membentuk
kepribadian yang cocok dengan kebutuhan dan nilai budaya mereka sendiri. Mandela
dibesarkan dalam suasana kekerabatan dan kekeluargaan sukunya yang hangat,
penuh kasih sayang, rasa saling memiliki, rasa persaudaraan, dan rasa saling
melengkapi. Pendidikan moral semacam inilah yang mempengaruhi karakter
kepribadian Mandela sebagai orang yang hangat, menyenangkan, jujur, peduli,
sabar, dan tidak pilih-pilih teman. Berbeda dengan pendidikan kaum kulit putih,
dimana sedari kecil mereka diajarkan untuk saling bersaing/berkompetisi
memperoleh untung, individualistis, materialistis, rasis, hedonis, dan
kapitalis. Maka tidak heran jika kaum kulit putih menjadi orang yang tamak dan
serakah, konsumtif, ingin menang sendiri, tidak sabar, dan tidak mempedulikan
orang lain. Mandela terang-terangan menolak dan berusaha menghancurkan Pseudospesies yang dianut warga Afrika
Selatan terkait apartheid selama dua setengah abad lamanya, karena baginya,
diskriminasi adalah kejahatan yang paling besar dan hina.
C. Analisa Tahap Perkembangan
Nelson Mandela
Masa
kecil Mandela dimulai saat ia berada pada Usia
Bermain (3-5 tahun). Mandela dan
Justice sangat senang menggembalakan ternak sehingga mengembangkan kemampuan
otot gerak mereka (Locomotion).
Mereka berdua juga mengembangkan rasa keingin-tahuan dengan hal-hal yang baru.
Memasuki usia 9 tahun, Mandela harus menerima kenyataan bahwa ayah yang
dikasihinya meninggal dunia. Kejadian ini tentu membuatnya menjadi Inferior, merasa kehilangan sosok ayah
yang merupakan penopang bagi hidupnya. Usia Mandela saat itu masuk pada tahap Usia Sekolah (6-12). Perkembangan Mandela dalam interaksi sosial berkembang saat
ia masuk SD. Dunia sosial Mandela sudah mencakup hubungan antara teman sebaya,
guru, dan kakak kelas. Pada usia ini, Mandela sangat aktif terutama
kemampuannya dalam membaca, menulis, berbahasa, dan ketrampilan lainnya. Mandela
mulai menerapkan kerja sama yang baik antara Ia dan Justice. Kerja sama ini
menghasilkan output yang baik (keduanya mendapat nilai bagus dan lulus dengan
nilai sempurna). Pada usia ini pula, Mandela mengembangkan Kompetensinya dalam berbahasa inggris dan interaksi-interaksi
sosial dengan dunia luar.
Memasuki
Usia Remaja (13-18), Mandela yang melaju hingga jenjang SMP dan SMA mulai
mengalami ego-identitas. Gejolak
remaja yang telah mengalami Pubertas
membuat ia berjuang untuk mencapai ego-identitasnya. Apakah itu ego-identitas
Mandela? Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa ego-identitas Mandela
adalah hasratnya sebagai warga negara yang belum terpenuhi. Disini, Mandela
mengalami Kebingungan Identitas.
Mandela berpikir bahwa Ia adalah warga negara Afrika Selatan, namun, Ia dan
seluruh kaum kulit hitam lainnya tidak pernah memperoleh hak-hak sebagai warga
negara pada umumnya seperti kaum kulit putih. Konteks Historis pada warga
Afrika Selatan yang tertindas oleh bangsa lain menjadikan sebuah Konformitas pada diri Mandela yang
menginginkan standar-standar tertentu demi pemuasan ego-idealnya, dan itu
adalah dengan bergabung bersama ANC. Kesetiannya
pada ANC adalah bentuk keyakinannya akan ideologi agama, politik, dan sosial
yang dianutnya sedari kecil yaitu hidup bersama dan berdampingan tanpa
diskriminasi. Patologi Inti dari kesetiaannya ini menghasilkan Perlawanan (Defiance) atau tindakan memberontak terhadap otoritas, pemberontakan
pada pihak universitas dan pemberontakannya pada pamannya yang meminta mereka
untuk meminta maaf pada pihak universitas. Ekspresinya ditunjukkan Mandela
dengan mengundurkan diri dari universitas dan mengajak kabur Justice ke
Johannesburg.
Pada
Masa Dewasa Muda (19-30), Mandela mulai menonjolkan
kebutuhan intimnya dengan lawan jenis. Kekuatan dasar masa ini, Cinta, membawa Mandela yang berkenalan
dengan Evelyn Ntoko Mase dan menjalin hubungan yang intim hingga mereka
berkomitmen untuk melanjutkan hubungan menuju ke jenjang pernikahan. Namun,
Mandela mengalami Isolasi akan
keintimannya ini. Di satu sisi ia ingin memenuhi kebutuhan ego-idealnya dengan
berjuang bersama ANC dan mencurahkan waktuya bagi ANC, di satu sisi ia juga
adalah seorang suami yang harus memenuhi kebutuhan keintiman dari istrinya.
Mandela seolah ‘terisolasi’ oleh tujuan dan cita-citanya sehingga akhirnya
berujung pada perceraiannya dengan Evelyn. Mandela tidak mampu menerapkan Cinta Yang Dewasa (keintiman, komitmen, seksual), sehingga Evelyn memilih untuk
mencari cinta dewasa lainnya.
Memasuki Masa Dewasa (31-60), Mandela mulai mengambil tempat di dalam masyarakat.
Mandela mulai mengasumsikan tanggung jawab seturut dengan peran yang
dilakoninya, yaitu sebagai ketua ANC seluruh Afrika Selatan. Mandela juga
belajar dari kegagalan pernikahan yang pertama dan mulai membagi waktu antara
ANC dan keluarganya. Mandela mengasuh anaknya, Zinozi, dan sangat
menyayanginya. Prokreativitas
Mandela ini didukung oleh istri keduanya, Winnie. Mandela menciptakan sebuah
ide-ide baru, input baru, konsep kehidupan yang baru, dimana tidak ada
mayoritas putih dan mayoritas hitam, semuanya menjadi satu dan berbaur dalam
kebersamaan multi-etnis. Bentuk Generativitas
vs Stagnasi Mandela ini pun mendapat kecaman dari berbagai pihak terutama
kaum kulit putih. Dari kulit hitam sendiri, ia juga dikecam oleh partai komunis
dan PAC. Mengetahui tentangan yang datang bertubi-tubi ini, Mandela pun mulai
memberikan fokus serta Perhatian
pada ide barunya ini. Perhatian ini ia dapatkan berdasarkan pengalamannya dan
keinginannya untuk menghapus UU apartheid. Mandela berusaha ‘merawat’ dan
‘memupuk’ idenya ini dengan berkeliling seluruh Afrika Selatan dan berkampanye
menyerukan kehidupan kebersamaan tanpa diskriminasi bersama ANC dan ANC Youth
League.
Pada
Usia Senja (60-...), Mandela malah
menjadi produktif. Ia terpilih menjadi presiden dikala usianya masuk 76 tahun.
Berlawanan dengan teori Erikson, Mandela justru produktif dan prokreatif dengan
program-program kemanusiaan yang ia dirikan seperti NMF dan NMCF. Kebijaksanaan Mandela (kharisma dan
setiap keputusannya) merupakan kekuatan dasar yang sangat besar pengaruhnya
sehingga orang sangat menghormati dia. Mandela tidak mengalami patologis inti
pada tahap usianya ini. Mandela sangat menjunjung tinggi Integritas-nya sebagai seorang tokoh bangsa dan seorang ayah bagi
masyarakat Afrika Selatan. Kebijaksanaannya dalam menghargai makna hidupnya
mendorong ia untuk mendirikan Nelson Mandela Centre of Memory. Mandela ingin
agar gagasannya dan ide-ide universalitasnya tidak luntur ditelan arus
perubahan jaman. Mandela ingin agar manusia saling menjaga dan melindungi tanpa
membeda-bedakan seturut ideologinya mengenai kebersamaan dalam keberagaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar