Rabu, 05 November 2014

Analisa Kehidupan Nelson Mandela menurut Teori Erik Erikson

Tugas Kelompok Mahasiswa
Psikologi Kepribadian
Analisa Biografi Nelson Mandela
Menurut Teori Post-Freudian Erik Erikson



Disusun Oleh :
Vidianto Risan           (13120018)
Selvi                            (13120005)
Putri Firdaus             (13120038)
Willy Sohlehudin       (13120015)



Program Studi Psikologi – Shanty, S.Psi., M.Si
Universitas Bunda Mulia
2013
A. Pendahuluan
Kehidupan diskriminasi merupakan hal yang biasa dilakukan para penjajah yang menduduki tanah jajahannya. Mereka akan mengesampingkan penduduk pribumi dan mementingkan kepentingan diri sendiri, atau bahkan mengeksploitasi pribumi untuk kepentingan mereka sendiri. Tiap daerah memiliki sebutan sendiri-sendiri untuk konsep ‘diskriminasi’ seperti Inkwisisi di Spanyol dan Amerika Latin, Segregasi di Amerika Serikat, dan Apartheid di Afrika Selatan. Banyak tokoh-tokoh penentang diskriminasi semacam ini seperti Santo Juan Diego di Amerika Latin, Rev. Martin Luther King. Jr di Amerika Serikat, dan yang terakhir Nelson Mandela di Afrika Selatan.
Kehidupan manusia yang menindas dan tertindas di Afrika Selatan merupakan pemicu terjadinya perlawanan Mandela. Seruan Mandela yang selalu mengedepankan aksi damai adalah upaya Mandela untuk menunjukkan contoh, bagaimana kita menyuarakan pendapat kita untuk menghapus kekerasan namun tanpa kekerasan. Sepenggal pidato Mandela yang terkenal, “Aku berjuang menentang dominasi kulit putih, menentang dominasi kulit hitam. Aku membawa gagasan tentang masyarakat yang demokratis dan bebas”.
Sifat, perilaku, dan aksi-aksi Mandela ini mengundang berbagai simpati dan dukungan dari khalayak ramai dan inilah yang menguatkan Mandela dalam setiap perjuangannya. Dalam setiap seruannya, Mandela meminta setiap orang yang mengikutinya untuk mengedepankan nilai-nilai kasih dan damai dengan mengambil contoh Mahatma Gandhi. Mandela percaya bahwa kekerasan akan membangkitkan kekerasan yang lebih buruk. Maka dari itu, Mandela memberikan jiwa dan raganya untuk mengajarkan orang-orang akan pentingnya menyuarakan pendapat tanpa kekerasan dan pertumpahan darah. Konsep demokratis dan nasionalis ditawarkan Mandela sebagai upaya persatuan antara kulit hitam dan kulit putih dalam usahanya membangun Afrika Selatan yang lebih baik dan lebih layak tanpa pembedaan kasta, strata, suku, ras, dan jabatan.
Perilaku Nelson Mandela yang lebih banyak berkutat pada hubungan sosial dan interpersonal ini akan kami bahas menggunakan teori Post-Freudian dari Erik Erikson yang lebih menekankan pengaruh masyarakat terhadap tumbuh kembang rasa ego manusia itu sendiri. Sudut pandang teori ini tentunya memberikan beberapa pesan dan kesan yang berbeda daripada teori-teori sosial psikoanalitik dan teori interpersonal.

B. Analisa Umum Kehidupan Nelson Mandela
Bagi Erikson, Ego adalah penciptaan kekuatan yang positif yang ‘menciptakan’ identitas diri manusia, sebuah ke-aku-an. Ego yang mula-mula mendasari Mandela adalah pandangannya pada usia 10 tahun yang mempertanyakan keadaan Afrika Selatan dengan hukum apartheid kepada pamannya. Ke-aku-an Mandela sebagai “aku’” yang berkulit hitam menciptakan identitas diri sebagai “aku” yang tersingkir atau “aku” yang terbuang, hingga munculah Ego untuk memperoleh penghormatan dan pengakuan akan kulit hitam. Jika diibaratkan kuda (menurut Freud), Mandela adalah ‘ego’ yang menunggangi kuda ‘id’ dalam satu trek yang bernama ‘super-ego’. Sekeras apapun Mandela mencambuk kuda ‘id’ untuk berbelok keluar jalur trek, si kuda akan tetap berjalan searah dengan jalur trek ‘superego’ dan tidak akan melenceng, itulah konsep Freud. Namun beda bagi Erikson. Menurut Erikson, kuda ‘id’ adalah kuda yang dikendalikan oleh Mandela ‘ego’ dan bukannya dikendalikan oleh jalur trek ‘superego’. Ego sebagai pusat kendali yang mengontrol id, itulah konsep Erikson.
Dapat kita lihat bahwa Mandela (Ego), menerobos sekat-sekat pembatas bagi kulit putih dan kulit hitam melalui aksi-aksi demo tanpa kekerasannya (Id) yang menghancurkan hegemoni UU apartheid di Afrika Selatan (Super-Ego). Sedianya, jika Freud mengatakan bahwa Ego akan selalu berkonflik dengan Superego dan dimenangkan oleh Superego, Erikson menyetujuinya, hanya saja, ego dan superego dapat di ‘damai’ kan dengan pengontrolan id yang positif dari ego itu sendiri. Maka dari itu, Erikson mendefinisikan ego sebagai kemampuan pribadi untuk menyatukan pengalaman dan tindakan dengan cara yang adaptif (Erikson, 1963).
Dalam ego-tubuh, Mandela menggali pengalaman yang ia dapatkan dan melihat dirinya berbeda dengan orang lain. Mandela bukan hanya melihat pengalaman “diri fisik” nya saja, namun juga ‘diri batinnya”. Sebuah pemikiran yang mendorongnya untuk sadar, bagaimana dengan fisiknya yang kian berkembang, maka berkembang juga pola pikirnya sebagai orang yang ‘paham’. Mandela mengidamkan kehidupan yang bersatu antara kulit hitam dan putih, dan baginya itu adalah sesuatu yang ideal. Perasaan ego-ideal inilah yang mampu mengukur sejauh mana harapan dan cita-cita Mandela terhadap impiannya itu dapat terwujud nyata sehingga memuaskan dirinya. Mandela membangun ego-identitasnya dengan berbagai peranan sosial yang digelutinya, baik sebagai suami untuk istrinya, bapak untuk anaknya, dan warga negara untuk negaranya. Mandela memposisikan dirinya dalam peran yang ia mainkan di seluruh rantai kehidupannya dan Mandela telah memutuskan untuk berperan menjadi seorang pembela hak-hak kaum kulit hitam hingga akhir hayatnya.
Erikson mengatakan bahwa ego muncul kebanyakan karena dibentuk oleh masyarakat. Pada saat manusia lahir, ego hadir hanya sebagai potensi, namun, untuk menjadi aktual dia harus hadir dalam lingkungan kultural. Ego Mandela (seperti yang dijelaskan diatas), terbentuk atas pengaruh lingkungan masyarakat yang diskriminatif. Potensi dan indikasi ego Mandela muncul pertama kali saat ia berumur 10 tahun yang menanyakan pada pamannya mengapa harus ada hukum seperti apartheid. Pandangannya yang mempertanyakan pemisahan antara kulit putih (sejahtera) dan kulit hitam (menderita) padahal ini adalah tanah kulit hitam merupakan batu loncatan pertama dari pola-pola perkembangan Mandela selanjutnya. Potensi Mandela ini menjadi aktual tatkala ia meneruskan sekolahnya di SMA, dimana ia dapat berinteraksi dengan orang-orang kulit hitam senasib.
Namun, Erikson mengatakan lagi bahwa Pengaruh Masyarakat yang berbeda, dengan variasi pengasuhan anak yang berbeda cenderung membentuk kepribadian yang cocok dengan kebutuhan dan nilai budaya mereka sendiri. Mandela dibesarkan dalam suasana kekerabatan dan kekeluargaan sukunya yang hangat, penuh kasih sayang, rasa saling memiliki, rasa persaudaraan, dan rasa saling melengkapi. Pendidikan moral semacam inilah yang mempengaruhi karakter kepribadian Mandela sebagai orang yang hangat, menyenangkan, jujur, peduli, sabar, dan tidak pilih-pilih teman. Berbeda dengan pendidikan kaum kulit putih, dimana sedari kecil mereka diajarkan untuk saling bersaing/berkompetisi memperoleh untung, individualistis, materialistis, rasis, hedonis, dan kapitalis. Maka tidak heran jika kaum kulit putih menjadi orang yang tamak dan serakah, konsumtif, ingin menang sendiri, tidak sabar, dan tidak mempedulikan orang lain. Mandela terang-terangan menolak dan berusaha menghancurkan Pseudospesies yang dianut warga Afrika Selatan terkait apartheid selama dua setengah abad lamanya, karena baginya, diskriminasi adalah kejahatan yang paling besar dan hina.

C. Analisa Tahap Perkembangan Nelson Mandela
Masa kecil Mandela dimulai saat ia berada pada Usia Bermain (3-5 tahun). Mandela dan Justice sangat senang menggembalakan ternak sehingga mengembangkan kemampuan otot gerak mereka (Locomotion). Mereka berdua juga mengembangkan rasa keingin-tahuan dengan hal-hal yang baru. Memasuki usia 9 tahun, Mandela harus menerima kenyataan bahwa ayah yang dikasihinya meninggal dunia. Kejadian ini tentu membuatnya menjadi Inferior, merasa kehilangan sosok ayah yang merupakan penopang bagi hidupnya. Usia Mandela saat itu masuk pada tahap Usia Sekolah (6-12). Perkembangan Mandela dalam interaksi sosial berkembang saat ia masuk SD. Dunia sosial Mandela sudah mencakup hubungan antara teman sebaya, guru, dan kakak kelas. Pada usia ini, Mandela sangat aktif terutama kemampuannya dalam membaca, menulis, berbahasa, dan ketrampilan lainnya. Mandela mulai menerapkan kerja sama yang baik antara Ia dan Justice. Kerja sama ini menghasilkan output yang baik (keduanya mendapat nilai bagus dan lulus dengan nilai sempurna). Pada usia ini pula, Mandela mengembangkan Kompetensinya dalam berbahasa inggris dan interaksi-interaksi sosial dengan dunia luar.
Memasuki Usia Remaja (13-18), Mandela yang melaju hingga jenjang SMP dan SMA mulai mengalami ego-identitas. Gejolak remaja yang telah mengalami Pubertas membuat ia berjuang untuk mencapai ego-identitasnya. Apakah itu ego-identitas Mandela? Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa ego-identitas Mandela adalah hasratnya sebagai warga negara yang belum terpenuhi. Disini, Mandela mengalami Kebingungan Identitas. Mandela berpikir bahwa Ia adalah warga negara Afrika Selatan, namun, Ia dan seluruh kaum kulit hitam lainnya tidak pernah memperoleh hak-hak sebagai warga negara pada umumnya seperti kaum kulit putih. Konteks Historis pada warga Afrika Selatan yang tertindas oleh bangsa lain menjadikan sebuah Konformitas pada diri Mandela yang menginginkan standar-standar tertentu demi pemuasan ego-idealnya, dan itu adalah dengan bergabung bersama ANC. Kesetiannya pada ANC adalah bentuk keyakinannya akan ideologi agama, politik, dan sosial yang dianutnya sedari kecil yaitu hidup bersama dan berdampingan tanpa diskriminasi. Patologi Inti dari kesetiaannya ini menghasilkan Perlawanan (Defiance) atau tindakan memberontak terhadap otoritas, pemberontakan pada pihak universitas dan pemberontakannya pada pamannya yang meminta mereka untuk meminta maaf pada pihak universitas. Ekspresinya ditunjukkan Mandela dengan mengundurkan diri dari universitas dan mengajak kabur Justice ke Johannesburg.
Pada Masa Dewasa Muda (19-30), Mandela mulai menonjolkan kebutuhan intimnya dengan lawan jenis. Kekuatan dasar masa ini, Cinta, membawa Mandela yang berkenalan dengan Evelyn Ntoko Mase dan menjalin hubungan yang intim hingga mereka berkomitmen untuk melanjutkan hubungan menuju ke jenjang pernikahan. Namun, Mandela mengalami Isolasi akan keintimannya ini. Di satu sisi ia ingin memenuhi kebutuhan ego-idealnya dengan berjuang bersama ANC dan mencurahkan waktuya bagi ANC, di satu sisi ia juga adalah seorang suami yang harus memenuhi kebutuhan keintiman dari istrinya. Mandela seolah ‘terisolasi’ oleh tujuan dan cita-citanya sehingga akhirnya berujung pada perceraiannya dengan Evelyn. Mandela tidak mampu menerapkan Cinta Yang Dewasa (keintiman, komitmen, seksual), sehingga Evelyn memilih untuk mencari cinta dewasa lainnya.
Memasuki Masa Dewasa (31-60), Mandela mulai mengambil tempat di dalam masyarakat. Mandela mulai mengasumsikan tanggung jawab seturut dengan peran yang dilakoninya, yaitu sebagai ketua ANC seluruh Afrika Selatan. Mandela juga belajar dari kegagalan pernikahan yang pertama dan mulai membagi waktu antara ANC dan keluarganya. Mandela mengasuh anaknya, Zinozi, dan sangat menyayanginya. Prokreativitas Mandela ini didukung oleh istri keduanya, Winnie. Mandela menciptakan sebuah ide-ide baru, input baru, konsep kehidupan yang baru, dimana tidak ada mayoritas putih dan mayoritas hitam, semuanya menjadi satu dan berbaur dalam kebersamaan multi-etnis. Bentuk Generativitas vs Stagnasi Mandela ini pun mendapat kecaman dari berbagai pihak terutama kaum kulit putih. Dari kulit hitam sendiri, ia juga dikecam oleh partai komunis dan PAC. Mengetahui tentangan yang datang bertubi-tubi ini, Mandela pun mulai memberikan fokus serta Perhatian pada ide barunya ini. Perhatian ini ia dapatkan berdasarkan pengalamannya dan keinginannya untuk menghapus UU apartheid. Mandela berusaha ‘merawat’ dan ‘memupuk’ idenya ini dengan berkeliling seluruh Afrika Selatan dan berkampanye menyerukan kehidupan kebersamaan tanpa diskriminasi bersama ANC dan ANC Youth League.

Pada Usia Senja (60-...), Mandela malah menjadi produktif. Ia terpilih menjadi presiden dikala usianya masuk 76 tahun. Berlawanan dengan teori Erikson, Mandela justru produktif dan prokreatif dengan program-program kemanusiaan yang ia dirikan seperti NMF dan NMCF. Kebijaksanaan Mandela (kharisma dan setiap keputusannya) merupakan kekuatan dasar yang sangat besar pengaruhnya sehingga orang sangat menghormati dia. Mandela tidak mengalami patologis inti pada tahap usianya ini. Mandela sangat menjunjung tinggi Integritas-nya sebagai seorang tokoh bangsa dan seorang ayah bagi masyarakat Afrika Selatan. Kebijaksanaannya dalam menghargai makna hidupnya mendorong ia untuk mendirikan Nelson Mandela Centre of Memory. Mandela ingin agar gagasannya dan ide-ide universalitasnya tidak luntur ditelan arus perubahan jaman. Mandela ingin agar manusia saling menjaga dan melindungi tanpa membeda-bedakan seturut ideologinya mengenai kebersamaan dalam keberagaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya