Rabu, 03 Desember 2014

Kasus Mutilasi Dengan Background Homoseks

Tugas Mandiri Mahasiswa Psikologi Sosial
Makalah Kasus Mutilasi

Dengan Latar Belakang Homoseks

Penyusun :
Rheza Pandu Heriyanto         (13120011)
Vidianto Risan                                    (13120018)
Willy Sohlehudin                     (13120015)


Universitas Bunda Mulia Jakarta
Program Studi Psikologi
Maret 2013


Pengantar

Puji syukur ke hadirat Tuhan Allah Yang Maha Kuasa, atas segala berkat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah mengenai kasus Mutilasi dengan latar belakang kelainan seksual ini tepat waktu dan lancar. Dimana, belakangan ini memang marak sekali kita mendengar tentang korban pembunuhan mutilasi dengan berbagai macam latar belakang dan motif, terutama karena kehidupan seksual yang menyimpang dari si pelaku.
Tujuan kami menulis makalah Mutilasi ini adalah untuk memberikan sedikit pengetahuan dan informasi kepada pembaca mengenai apakah itu kejahatan Mutilasi dan apakah yang mendorong seseorang dengan kelainan seksual untuk melakukan tindak mutilasi. Kami juga ingin supaya pembaca mengetahui berbagai macam perbedaan dalam jenis-jenis penyimpangan seksual. Semoga makalah ini bisa menjadi sarana pengetahuan maupun pedoman bagi pembaca dalam menambah wawasan dan informasi.
Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadur dari berbagai macam sumber yang tentunya dapat dipercaya. Dalam penyusunan makalah ini, kami juga melampirkan berbagai macam pandangan dan pendapat dari para ahli baik itu dari Psikolog maupun dari Kriminolog dalam menyikapi kasus Mutilasi yang marak terjadi di Indonesia belakangan ini, termasuk, kasus terbaru yang terjadi di dekat lingkungan Universitas Bunda Mulia, yakni di daerah Lodan Raya.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, karena pengalaman yang kami miliki juga sangat kurang. Oleh karena itu, kami mengharapkan kepada pembaca untuk memberikan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini selanjutnya. Akhir kata kami mengucapkan limpah terimakasih. Salam damai Tuhan memberkati.

Jakarta, 23 Maret 2013

Penyusun

Rheza Pandu Heriyanto – Vidianto Risan – Willy Sohlehudin
@ - Concéntro ét Proficio - @






Bab I
Pengertian Umum, Sejarah, dan Jenis-jenisnya

1.1. Pengertian Umum
Kata "Mutilasi" belakangan ini seperti yang sering kita dengar dan memang sering dipakai oleh media massa (TV, Radio, Koran, dll), untuk menggambarkan suatu tindakan kejahatan pembunuhan yang disertai dengan praktek sadisme berupa memotong bagian-bagian tubuh korban. Sebenarnya, apa sih arti kata mutilasi itu?
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbitan Balai Pustaka  mengartikan; (mu·ti·la·si) n proses atau tindakan memotong-motong (biasa-nya) pada tubuh manusia atau hewan – KBBI terbitan Balai Pustaka Edisi I, 28 Oktober 1988 (sumber; http://badanbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi).
Bahkan pada KBBI Cetakan ke-9 terbitan Balai Pustaka – Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, tahun 1997 juga memuat arti kata yang sama. Lalu disini, kami mencari-cari apakah kata “Mutilasi” sendiri adalah kata asli dalam bahasa Indonesia atau kata serapan dari bahasa asing. Maka kami mencoba mencarinya dari berbagai Kamus bahasa asing.
Dalam Webster Unabridged Dictionary dikatakan; [L. mutilatio: cf. F. mutilation.]
The act of mutilating, or the state of being mutilated; deprivation of a limb or of an essential part
- terj: [L. mutilatio :cf. F. Mutilasi.] Tindakan mutilasi, atau keadaan yang dimutilasi, kekurangan anggota tubuh atau bagian penting - Webster's Unabridged Dictionary Webster ® 1913 Dictionary edited by Patrick J. Cassidy (sumber; http://www.answers.com/topic/mutilation).
Dalam American Heritage Stedman’s Medical Dictionary dikatakan; (myūt'l-ā'shən read: myutileisyen) n Disfigurement or injury by removal or destruction of a conspicuous or essential part of the body – terj: ( myūt ' l-ā ' shən baca: myutileisyen ) n. Cacat atau cedera dengan menghilangkan atau merusak bagian mencolok atau terpenting dari tubuh -  The American Heritage  Stedman's Medical Dictionary Copyright © 2002, 2001, 1995 by Houghton Mifflin Company (sumber; http://www.answers.com/topic/mutilation).
Sementara, kata mutilasi menurut Burton's Legal Thesaurus berarti; (Mutilate) n amputate, batter, blemish, broise, butcher, cripple, cut, damage, debilitate, deface, deform, deprive of an important part, disable, disfigure, dismantle, dismember, distort, gash, impair, incapatitate, injure, knock out of shape, lacerate, maim, mangle, render a document imperfect – terj: "mengamputasi, memukul berulang-ulang, cacat, broise, membantai, cacat, memotong, kerusakan, melemahkan, merusak, kehilangan, menghilangkan suatu bagian penting, menonaktifkan, menjelekkan/membuat jelek, membongkar, memotong-motong, mendistorsi, luka, merusak, incapatitate, melukai, merusak dari bentuk semula, mencabik, membuat cacat, mangle, menyebabkan sebuah dokumen tidak sempurna -  William C. Burton, Burton's Legal Thesaurus, 3rd ed, New York Library: ©McGraw-Hill Dictionary, 1998" (sumber; www.hukumonline.com).
Dalam APA Dictionary of Psychology dikatakan; (Mutilation) n 1. The destruction or removal of a limb or an essential part of the body. 2. A destructive act causing a disfiguring injury to the body. See also SELF-MUTILATION – terj:  (Mutilasi) n 1. Perusakan atau penghilangan anggota tubuh atau bagian penting dari tubuh. 2. Sebuah tindakan destruktif menyebabkan cedera menodai bagi tubuh. Lihat juga mutilasi diri(sumber; American Psychological Association Dictionary of Psychology ® Gary R. VandenBos, PhD, 2007).
Di dalam konteks hukum pidana, pengertian mutilasi adalah dikatakan dalam Black’s Law Dictionary sebagai; “the act of cutting off or permanently damaging a body part, esp. an essential one” – terj: tindakan memotong atau merusak permanen bagian tubuh, esp. yang penting salah satu – Black’s Law Dictionary (sumber; www.hukumonline.com).
Psychology in Law, merupakan aplikasi praktis psikologi dalam bidang hukum seperti psikolog diundang menjadi saksi ahli dalam proses peradilan. Psychology and law, meliputi bidang psycho-legal research yaitu penelitian tentang individu yang terkait dengan hukum seperti hakim, jaksa, pengacara, terdakwa. Psychology of law, hubungan hukum dan psikologi lebih abstrak, hokum sebagai penentu perilaku. Isu yang dikaji antara lain bagaimana masyarakat mempengaruhi hukum dan bagaimana hukum mempengaruhi masyarakat. (sumber; http://forum.psikologi.ugm.ac.id/psikologi-sosial).
Jadi, dapat kami simpulkan menurut pandangan kami disini, bahwa arti kata mutilasi dalam konsumsi bahasa sehari-hari (dalam konteks bahasa Indonesia yang baku dan sederhana), mutilasi bisa diartikan sebagai kegiatan mengiris, memotong, mencincang, atau menyayat sesuatu benda menjadi terpisah satu sama lain dari bentuk utuh aslinya.

1.2. Sejarah Mutilasi
Menjadi pertanyaan kami, apakah mutilasi memang mempunyai sejarah panjang dari awal mula praktek sadisme ini. Disini kami mendapatkan sebuah fakta yang mengupas mengenai praktek mutilasi pada jaman dahulu kala dengan berbagai aspek yang melatarbelakangi.
-          Aspek Hukum: Kebudayaan Mesir Kuno; “... Hukuman untuk kejahatan ringan di antaranya pengenaan denda, pemukulan, mutilasi di bagian wajah, atau pengasingan, tergantung kepada beratnya pelanggaran. Kejahatan serius seperti pembunuhan dan perampokan makam dikenakan hukuman mati seperti pemenggalan leher, penenggelaman, atau penusukan. Hukuman juga bisa dikenakan kepada keluarga penjahat.” (sumber; http://id.wikipedia.org/wiki/Mesir_Kuno).
-          Aspek Adat Budaya: Suku Dani di Papua punya Tradisi potong jari. Banyak cara menunjukkan kesedihan dan rasa duka cita ditinggalkan anggota keluarga yang meninggal dunia. Butuh waktu lama untuk mengembalikan kembali perasaan sakit akibat kehilangan. Namun berbeda dengan Suku Dani, mereka melambangkan kesedihan lantaran kehilangan salah satu anggota keluarga yang meninggal. Tidak hanya dengan menangis, tetapi memotong jari. Bila ada anggota keluarga atau kerabat dekat yang meninggal dunia seperti suami, istri, ayah, ibu, anak dan adik, Suku Dani diwajibkan memotong jari mereka. Mereka beranggapan bahwa memotong jari adalah symbol dari sakit dan pedihnya seseorang yang kehilangan anggota keluarganya. Pemotongan jari juga dapat diartikan sebagai upaya untuk mencegah ‘terulang kembali’ malapetaka yangg telah merenggut nyawa seseorang di dalam keluarga yg berduka. (sumber; http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dani#Tradisi_Potong_Jari).
-          Aspek Keagamaan: Kebudayaan Suku Aztec kuno, yang dapat kami rangkumkan (karena begitu banyak artikel disana) dimana pada masa kebudayaan suku Aztec di Amerika Latin, menerapkan praktek mutilasi untuk upacara atau ritual keagamaan yaitu seorang manusia akan dikorbankan kepada dewa matahari di puncak altar piramid dengan diambil jantungnya lalu kemudian mayatnya dipotong-potong menjadi beberapa bagian untuk kemudian dimasak dagingnya dan dimakan beramai-ramai (Kanibalisme). Mereka mempercayai bahwa dengan melakukan ritual itu hasil panen jagung (makanan keramat bagi suku ini) akan berlimpah dan menghindarkan amarah dewa matahari yang akan mengirimkan kekeringan. (sumber; http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Aztec).
-          Psikopat: Dalam masa modern ada "Jack the Ripper" (bahasa Indonesia: "Jack sang Pencabik") adalah julukan paling terkenal yang diberikan kepada pembunuh berantai tak dikenal yang aktif di kawasan miskin di sekitar distrik Whitechapel, London, pada tahun 1888. Dialah yang memulai era mutilasi di jaman modern. Julukan ini berasal dari sebuah surat yang ditulis oleh seseorang yang mengaku sebagai pembunuh, yang kemudian disebarkan di media. Surat tersebut secara luas diyakini adalah tipuan, dan kemungkinan ditulis oleh seorang jurnalis yang berupaya untuk meningkatkan minat publik terhadap misteri tersebut. Julukan lainnya yang digunakan untuk sang pembunuh pada saat itu adalah "Pembunuh Whitechapel" dan si "Kulit Apron".
Pembunuhan yang dilakukan Ripper umumnya melibatkan wanita tuna susila yang berasal dari daerah kumuh dengan cara memotong tenggorokan kemudian memutilasi perut mereka. Hilangnya organ-organ dalam dari tiga korban Ripper memunculkan dugaan bahwa pelaku memiliki pengetahuan anatomi atau bedah. Desas-desus yang menyatakan bahwa pembunuhan ini saling berhubungan merebak pada bulan September dan Oktober 1888, dan beberapa surat yang dikirimkan oleh seseorang yang mengaku sebagai pembunuh diterima oleh media dan Scotland Yard. Surat "From Hell", yang diterima oleh George Lusk dari Komite Kewaspadaan Whitechapel, juga berisikan separo ginjal manusia yang diawetkan, diduga ginjal tersebut merupakan milik salah satu korban. Karena teknik pembunuhan yang luar biasa brutal, dan karena tingginya penafsiran media terhadap misteri ini, publik semakin percaya bahwa pembunuhan ini merupakan pembunuhan berantai tunggal yang dilakukan oleh "Jack the Ripper".
Luasnya liputan surat kabar terhadap misteri ini menyebabkan Ripper meraih ketenaran internasional. Serangkaian penyelidikan mengenai pembunuhan lainnya yang dikenal sebagai Pembunuhan White Chapel hingga tahun 1891 tidak mampu menghubungkan peristiwa pembunuhan ini dengan pembunuhan pada tahun 1888, namun legenda Jack the Ripper tetap dipercayai. Karena misteri pembunuhan ini tidak pernah terungkap, legenda tersebut semakin kuat, yang turut diiringi dengan penelitian sejarah asli, desas-desus, cerita rakyat, dan sejarah semu. Istilah "Ripperologi" diciptakan untuk menggambarkan kajian dan analisis mengenai kasus Ripper. (sumber; http://id.wikipedia.org/wiki/Jack_the_Ripper).

1.3. Jenis-jenis Mutilasi
Dari berbagai macam jenis mutilasi, secara umum setidaknya ada dua jenis mutilasi yaitu Defensive dan Offensive.
-          Mutilasi defensif (Defensive Mutilation), atau disebut juga sebagai pemotongan/pemisahan anggota badan dengan tujuan untuk menghilangkan jejak setelah pembunuhan terjadi. Motif rasional dari pelaku adalah untuk menghilangkan tubuh korban sebagai barang bukti atau untuk menghalangi diidentifikasikannya potongan tubuh korban.
-          Mutilasi ofensif (offensive mutilation), adalah suatu tindakan irasional yang dilakukan dalam keadaan mengamuk, “frenzied state of mind”. Mutilasi kadang dilakukan sebelum membunuh korban.
<Karger, Rand, & Brinkman (2000)>
Namun, dewasa ini, United Nations (UN) menemukan ada tindak mutilasi dalam keadaan hidup yang masih dilakukan sampai saat ini yaitu Female Genital Mutilation (termasuk Suku Dani di Papua tadi). Terdapat beberapa definisi mengenai Female Genital Mutilation (FGM):
-          Berdasarkan WHO information fact sheet No. 241 -- June, 2000, FGM merupakan semua prosedur termasuk pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari organ genital perempuan atau tindakan melukai lainnya terhadap organ genital perempuan baik untuk alasan budaya, agama, atau alasan lainnya yang tidak berkaitan dengan penyembuhan
-          Berdasarkan fact sheet no.23, Harmful Traditional Practices Affecting the Health of Women and Children yang dikeluarkan oleh Office of the High Commissioner for Human Rights, FGM adalah istilah yang dipakai mengacu pada tindakan pembedahan untuk mengangkat sebagian atau seluruh bagian organ genital perempuan yang paling sensitif.
-          Berdasarkan Stedman's medical Dictionary, 26th Edition, 1995 – Mutilasi didefinisikan sebagai perusakan atau tindakan melukai dengan mengangkat atau merusakkan bagian-bagian yang nyata terlihat atau bagian penting dari tubuh.
Dari beberapa definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa FGM adalah segala prosedur atau tindakan yang ditujukan untuk menghilangkan dan melukai sebagian atau seluruh organ genital dari perempuan. Tipe-Tipe Female Genital Mutilation. Ada empat macam tipe FGM menurut fact sheet no.23, Harmful Traditional Practices Affecting the Health of Women and Children:
-          Tipe I : Sirkumsisi (Circumcision) Menghilangkan bagian permukaan, dengan atau tanpa diikuti pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari klitoris. Ketika prosedur ini dilakukan terhadap bayi perempuan atau anak kecil perempuan, bisa jadi bagian atau keseluruhan dari klitoris dan sekeliling jaringan (tissues) akan terbuang.
-          Tipe II : Eksisi (Excission) Pengangkatan klitoris diikuti dengan pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari labia minora.
-          Tipe III : Infabulasi (Infibulation) Merupakan excission yang diikuti dengan pengangkatan labia mayora serta menempelkan kedua sisi vagina dengan jalan menjahit atau menyatukan secara alami jaringan yang terluka dengan mempergunakan media berupa duri, sutera, atau benang dari usus kucing. Pada infabulation akan ditinggalkan lubang yang sangat kecil (kurang lebih sebesar kepala korek api) yang dipergunakan untuk sekresi dan keluarnya cairan menstruasi.
-          Tipe IV : Introsisi (Introcission) Jenis FGM yang dipraktikkan oleh suku Pitta-Pitta Aborigin di Australia, dimana pada saat seorang perempuan mencapai usia puber, maka seluruh suku akan dikumpulkan dan seseorang yang dituakan dalam masyarakat akan bertindak sebagai pemimpin prosedur FGM. Lubang vagina perempuan tersebut akan diperlebar dengan jalan merobek dengan menggunakan tiga jari tangan yang diikat dengan tali dan sisi lain dari perineum yang akan dipotong dengan menggunakan pisau batu. Ritual ini biasanya akan diikuti dengan aktivitas seksual secara paksa dengan beberapa lelaki muda. Selain di Australia, introcission juga dipraktikkan di Meksiko Timur, Brazil, Peru, dan suku Conibos. Serta sebagian dari suku Pano Indian di bagian tenggara. Pada suku-suku tersebut operasi dilaksanakan oleh seorang perempuan yang dituakan dengan menggunakan pisau bambu, perempuan ini akan memotong jaringan sekitar selaput dara serta mengangkat bagian labia pada saat yang bersamaan membuka klitoris, tumbuhan obat akan dipergunakan untuk menyembuhkan diikuti dengan memasukkan objek berbentuk penis yang terbuat dari tanah liat.

































Bab. II
Analisa Masalah

2.1. Dari Sudut Pandang Psikologi
Kejahatan Mutilasi adalah jenis kejahatan yang tergolong sangat sadis, dimana pelaku kejahatan tersebut tidak hanya membunuh atau menghilangkan nyawa orang lain melainkan ia juga memotong-motong setiap bagian tubuh si korbannya menjadi beberapa bagian. Sebenarnya, apakah yang mendorong seseorang untuk berbuat hal yang sadis itu? Jika kita melihat di berbagai macam pemberitaan baik itu di TV, Radio, ataupun di surat kabar, berbagai macam motif melatarbelakangi terjadinya peristiwa sadis mutilasi, diantaranya; masalah dendam, masalah finansial, masalah asmara, maupun masalah kelainan seksual.
Dari berbagai macam motif itu, kami ingin menyoroti lebih dalam mengenai kasus mutilasi yang dilatarbelakangi oleh motif asmara, terutama hubungan asmara dari pasangan dengan kelainan seksual. Jika kita masih ingat mengenai kasus mutilasi yang dilakukan oleh Very Idham Henyansyah atau yang akrab dikenal sebagai “si jagal Jombang” dan Baekuni yang akrab dikenal dengan sebutan “si Babe”, perbuatan yang mereka lakukan itu sangatlah menggemparkan negeri kita ini karena begitu banyaknya korban akibat ulah sadis mereka dan terutama karena motif kelainan seksual yang mereka alami. Dari kesaksian yang mereka berikan, mereka mempunyai dorongan membunuh dan memutilasi korbannya karena mereka merasa cemburu dan sakit hati karena pasangan sesama jenisnya menjalin hubungan sosial (pergaulan) dengan orang lain, disamping karena mereka memang ingin mencoba hal baru dengan pasangan baru yang sejenis.
Disini, kami menarik kesimpulan bahwa kasus mutilasi dengan kelainan seksual ini sangatlah berkaitan erat dengan teori Psikoanalisa & Psikoseksual Sigmund Freud. Dalam Psikoanalisa Sigmund Freud dijelaskan bahwa jiwa terdiri dari 3 sistem yaitu: id (es), superego (uber ich), dan ego (ich) – sumber; Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi, 2009. Disini kami mencoba melihat arti dari id.
Di dalam id dikatakan bahwa, “Id terletak dalam ketidaksadaran. Ia merupakan tempat dari dorongan-dorongan primitif, yaitu dorongan-dorongan yang belum dibentuk atau dipengaruhi oleh kebudayaan, yaitu dorongan untuk hidup dan mempertahankan kehidupan (life instinct) dan dorongan untuk mati (death instinct). Bentuk dari dorongan hidup adalah dorongan seksual atau disebut juga libido dan bentuk dari dorongan mati adalah dorongan agresi,...... Prinsip yang dianut id adalah prinsip kesenangan (pleasure principle), yaitu bahwa tujuan dari id adalah memuaskan semua dorongan primitif itu”sumber; Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi.
Jadi, yang mendasari seseorang untuk melakukan suatu aktivitas yang berkaitan dengan kehidupan adalah karena tuntutan pemuasan diri atas berbagai macam dorongan-dorongan yang mendasarinya, contoh; seorang yang baru keluar penjara memiliki dorongan seks yang tinggi karena sekian lamanya mendekam di penjara, seorang pengemis mencuri di sebuah toko makanan karena lapar yang tak tertahankan, atau seorang pemuda yang menghamili seorang gadis setelah menonton video porno. Perilaku ini muncul sebagai stimuli dari dorongan yang mendasarinya.
Ditambahkan lagi dengan statement Psikoseksual Freud; “Jika anda mengambil aktivitas seksual sebagai titik pusat perhatian, anda mungkin akan menyatakan bahwa seksual berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan usaha pencarian kenikmatan dari tubuh (dan tentunya pada organ-organ seksualitas) dari lawan jenis; dalam satu kesimpulan yang paling pendek seksualitas berarti segala sesuatu yang diarahkan pada penyatuan organ-organ genital dan aktivitas seksual”(sumber; a General Introduction to Psychoanalysis ® Psikoanalisis Sigmund Freud-Ikon Teralitera Yogyakarta, 2002). Hal. 323 Paragraf ke-2 Kalimat ke-5.
Walaupun dikatakan dalam statement itu bahwa kenikmatan seksual adalah kenikmatan dengan lawan jenis, namun Freud menambahkannya dalam Paragraf ke-3 kalimat ke-2; “Tetapi hal ini tidak lagi memadai bagi ilmu pengetahuan. Karena sejumlah riset yang serius (hanya mungkin dalam semangat diri yang menggebu dan dilakukan dengan pengorbanan) telah membuka kenyataan bahwa ada golongan manusia yang kehidupan seksualnya menyimpang secara mencolok dari kehidupan seksual yang normal. Sekelompok manusia “sesat” ini telah menghapuskan perbedaan antara jenis kelamin dari skema hidupnya. Bagi orang-orang ini, hanya mereka yang memiliki jenis kelamin yang sama, yang akan menimbulkan hasrat seksual bagi mereka, bahkan dalam suatu kasus yang ekstrem bisa menjadi obyek kebencian yang mendalam bagi mereka yang memiliki kecenderungan semacam ini. Karena itu, mereka tentu saja mengesampingkan semua partisipasi mereka dalam fungsi reproduksi. Orang-orang yang memiliki kecenderungan semacam itu disebut sebagai kelompok Homoseksual”.
2.1.1. Apakah itu Homoseksual?
Lalu, darimanakah kelainan seksual “Homoseksual” ini bermula dan mengakar kuat? Apakah pengaruh dari masa-masa awal fase perkembangan anak-anak, ataukah dari masa-masa traumatis yang pernah dialami oleh seseorang Homoseksual sedari kecil seperti kekerasan seksual? Jawabannya adalah semua benar adanya.
Sigmund Freud kembali memberikan statementnya dalam paragraf ke-13 Kalimat ke-8 (buku yang sama), dikatakan; “Dengan cara ini ditemukan bahwa semua kecenderungan untuk memiliki perilaku menyimpang memiliki akar pada masa pertumbuhan saat kanak-kanak, bahwa anak-anak meninggalkan atau tetap memakai, dengan berbagai tingkat yang berbeda antara masing-masing anak, perilaku tersebut pada saat kematangan usianya; pendeknya, aspek penyimpangan seksualitas tidak lain adalah aspek seksualitas masa kanak-kanak, yang kemudian menjadi semakin besar dan dipisahkan dalam sejumlah komponen yang berdiri sendiri”.
Jadi, dorongan pemuasan libido seksualitas bagi para Homoseksual adalah dipicu dari masa perkembangan kanak-kanak. Kami mencoba mencari-cari, jika kita kembali pada 5 fase tingkat perkembangan seksual menurut Sigmund Freud , dimana disitu dijelaskan bahwa setiap orang mempunyai dorongan seksual yang sudah terdapat sejak bayi (Infantile Sexuality) dan dorongan ini akan berkembang terus menjadi dorongan seksual pada orang dewasa, maka kita akan mendapati perkembangan Fase Phalic (6-7 tahun), Fase Latent (7 atau 8 tahun-masa remaja), dan Fase Genital (masa remaja). Ketiga fase ini menurut kami adalah fase yang sangat berpengaruh pada perkembangan kelainan seksualitas seseorang sedari masa kanak-kanak. Kami mencari-cari apakah dorongan seseorang yang Homoseksual memang sudah terdapat pada saat dia bayi.
Teori Psikoanalisa masih tetap menonjol dalam menjelaskan baik fungsi normal maupun abnormal si pelaku mutilasi. Disini, kami ada tiga prinsip dasarnya yaitu :
- tindakan dan tingakah laku orang dewasa dapat dipahami dengan melihat pada perkembangan masa anak-anak mereka.
- tingkah laku dan motif-motif alam bawah sadarnya adalah  reaksi saling jalin-menjalin dan interaksi dari reaksi itu mesti diuraikan bila kita ingin mengerti kejahtan ini.
- Kejahatan pada dasarnya merupakan representasi dari konflik psikologis masa lalu si pelaku.
Disini, kami mengambil sebuah contoh yang sederhana yang kami coba buat sendiri, berbunyi demikian; “ada seorang anak yang pada saat usia 5 tahun (Fase Phallic) yang mengalami pelecehan seksual dari seorang gay. Namun anak ini tidak mengetahui apakah itu pelecehan seksual (karena masih kecil dan belum tahu apa-apa). Anak ini diiming-imingi uang jajan atau permen lalu si pelaku akan melakukan tindak pelecehan seksual dengan mis; meraba-raba alat kemaluan, oralisasi alat kemaluan, menciumi, atau bahkan sodomi berkali-kali. Seiring waktu, si anak ini akan menolak tawaran itu lagi bukan karena ia sudah tahu dan mengerti apa itu pelecehan seksual, tetapi karena si anak ini mengalami sakit pada daerah analnya (karena sodomi). Kemudian pada saat proses pertumbuhannya, kejadian yang ia alami pada masa kecilnya itu akan tersimpan di dalam alam bawah sadarnya. Seiring berjalannya waktu, orientasi seksual si anak ini berubah drastis, dia mulai menyukai sesama jenis dan mudah merasa cemburu apabila orang yang ia sukai (sesama jenis) sangat dekat dengan orang lain”.
Dalam contoh sederhana ini kami melihat bahwa kemungkinan besar seorang pelaku mutilasi karena penyimpangan seksual, mengalami traumatis pada fase Phallic saat kanak-kanak, sehingga mempengaruhi fase Latency dan Genitalnya. Namun, tidak banyak bukti yang kami dapatkan untuk menunjang pendapat kami yang menyatakan bahwa jika seorang anak pada fase Phallic mengalami pelecehan seksual akan berimbas pada perkembangan orientasi seksualnya yakni menjadi gay di kemudian hari.
Namun, disini kami mendapatkan suatu bukti dari kasus mutilasi dengan motif kelainan seksual pada dua orang pelaku sadis mutilasi yakni “Ryan – Jagal Jombang” dan “Babe – Baekuni”. Kedua orang ini mengalami perubahan perilaku seksual baik yang disebabkan karena perubahan perilaku maupun karena rasa traumatis. Demikian riwayatnya;
“Ryan (jagal Jombang) adalah bungsu dari dua bersaudara. Kakaknya Mulyo Wasis (44) adalah saudara satu ibu namun lain ayah. Sejak kecil Ryan lebih sering berpisah dengan kedua orangtuanya dan tinggal di pesantren. Ayah Ryan, Ahmad Maskur, pensiunan satpam sebuah pabrik gula dan Kasiatun, istrinya, lebih suka tinggal di rumah Mulyo Wasis. Perilaku Ryan banyak berubah ketika ia duduk di bangku SMP. Dia lebih banyak menekuni kegiatan perempuan seperti menari dan berdandan. Di sekolah Ryan dikenal lebih dekat dan lebih banyak berteman dengan perempuan, dia juga banyak terlibat kegiatan kesenian, terutama menari. Namun demikian Ryan dikenal cerdas, cekatan, dan pandai bergaul”. (sumber; http://id.wikipedia.org/wiki/Very_Idham_Henyansyah).
“Namanya singkat. Baekuni. Lahir di Magelang, Jawa Tengah, pria tinggi kekar ini membuat kita semua merinding sepekan terakhir. Dia mengaku telah membunuh tujuh anak jalanan. Semuanya berumur di bawah 12 tahun. Dan ini yang bikin seram, tiga diantaranya dimutilasi pakai golok. Mereka adalah anak jalan yang berada di daerah Jakarta Timur. Sejumlah kabar menyebutkan bahwa lantaran takut mendengar kisah si Baekuni ini, kawasan Terminal Pulogadung kini sepi dari anak-anak jalanan. Mereka ngeri membayangkan keganasan pria yang akrab disapa babe itu. Tapi siapa si babe ini? Tak banyak yang tahu. Informasi tentang jati dirinya dan riwayat masa kecilnya cuma sedikit yang terkuak. Sarlito Wirawan, Psikolog Universitas Indonesia, yang bertemu dengan babe di rumah tahanan Polda Metro Jaya mengisahkan kepada wartawan ihlwal jati diri si Baekuni ini. Babe lahir di Magelang. Ayahnya seorang petani. Masa kecilnya memang tidak bahagia. Selalu diolok-olok teman-teman sekolah, lantaran tidak pernah naik kelas. Karena tidak naik kelas itu, Baekuni "tamat" di kelas 3 SD. Lalu dia kabur sendirian ke Jakarta, pada usia yang masih sangat belia untuk merantau, 12 tahun. Di ibukota dia menggelandang di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Untuk makan-minum sehari-hari dia mencari uang dengan mengamen. Anak belia terjun ke dunia yang kelam. Baekuni mengalami hampir semua kekejaman jalanan. Dia juga pernah disodomi. "Waktu itu dia menolak tapi karena dipaksa tidak bisa melawan," ujar Sarlito, melalui surat elektronik yang diterima VIVAnews.com, Kamis 14 Januari 2010. Setelah itu, Babe bertemu seseorang bernama Cuk Saputra, dia kemudian dibawa ke Kuningan, Jawa Barat dan diminta untuk memelihara kerbau. Di Kuningan itulah dia bersua dengan jodohnya. Seorang wanita yang sangat dicintainya. Dia menikah umur 21 tahun. Tapi jiwa dan raganya dipenjara trauma. Dan mohon maaf, si Baekuni mengaku tidak mampu berhubungan layaknya suami istri hingga wanita yang dicintainya itu meninggal dunia. (sumber; http://iterang.blogspot.com/2011/01/inilah-kisah-hidup-babe-sang-pembunuh.html).
Jadi disini kami mulai mengambil kesimpulan bahwa seorang anak yang mengalami pelecehan seksual pada usia pubertas (kira-kira anak SMP) yakni usia 11 tahun ke atas (dimulai pada fase Latency dalam teori Psikoseksual), maupun seorang anak yang mengalami perubahan orientasi seksual pada umur itu kemungkinan besar akan menjadi seseorang yang mengalami penyimpangan seksual (gay) nantinya. Kemampuan reproduksi layaknya manusia yang normal bersama pasangan lawan jenis akan sulit ia praktekkan dan tentunya ia tidak akan pernah mendapatkan kepuasan seksual dari situ. Kemungkinan besar, sepertinya jika ada tindakan seorang Homoseksual yang menikahi lawan jenis, itu pasti adalah tindakan penyamaran atau kamuflase agar ia tidak diberikan stereotype seorang Homoseks oleh lingkungan sekitarnya (apalagi dengan kebudayaan bangsa kita yang mengutuk keras segala tindakan hubungan sesama jenis).
Sigmund Freud pernah mengatakan bahwa; “Setiap orang mempunyai sisi Biseksual dalam dirinya dan hal itu sudah tertanam semenjak kecil. Seiring berjalannya waktu, sisi Biseksual akan digantikan oleh sisi Maskulin dan Feminin bagi orang yang mengalami pertumbuhan seksual yang normal, sementara bagi individu yang mengalami penyimpangan seksual, sisi Biseksualnya akan tetap bertahan dan kemudian akan berkembang nyata dalam kehidupan Biseksual dan Heteroseksual” – ditambahkan lagi bahwa; “Perbedaan antara Maskulin dan Feminin belumlah mempunyai peranan, sebaliknya terdapat perbedaan antara aktif dan pasif yang dapat disebut awal dari polaritas seksual yang juga akan berkaitan erat nantinya”. (sumber; a General Introduction to Psychoanalysis ® Psikoanalisis Sigmund Freud-Ikon Teralitera Yogyakarta, 2002), Hal. 356.
Motif utama pengidap kelainan seksual ini memutilasi korbannya adalah karena mereka ingin supaya mereka akan merasa terpuaskan apabila mereka melakukan tindak mutilasi terhadap korbannya, dari dalam dirinya mereka mempunyai dorongan Id (Psikoanalisa Sigmund Freud) dimana dorongan itu menggebu-gebu dari dalam dirinya untuk melakukan sesuatu yang membuat dia merasa terpuaskan. Disamping itu pula, ada dorongan-dorongan Psikopat dari si pelaku untuk melakukan tindakan Mutilasi dengan harapan menghilangkan jejak korbannya. Namun disini kami membedakan antara seorang Psikopat dan seorang yang mengalami Penyimpangan Seksual dalam kasus kejahatan Mutilasi. Walaupun ada sedikit kemiripan dalam tindakannya, namun sangat sulit membedakan mutilasi karena aspek Psikopat atau karena aspek Kelainan Seksual. Sebuah kalimat dari Freud menyatakan; “Sebagian tertentu dari rangsangan-komponen insting seksual mempunyai satu objek sejak awal sekali dan terus mempertahankannya; misalnya rangsangan untuk menguasai (sadisme), untuk menatap (Skoptofilia), dan rasa ingin tahu”. (sumber; a General Introduction to Psychoanalysis ® Psikoanalisis Sigmund Freud-Ikon Teralitera Yogyakarta, 2002), Hal. 357.
2.1.2. Perbedaan Psikopat dan Kelainan Seksual
Menurut Psikolog Sawitri Supardi Sadarjoen, S.Psi, M.Si, dalam artikelnya di http://nasional.kompas.com/read/2008/08/24/09254122/Psikopat.dan/atau.Homoseksual, Seorang Psikopat mempunyai berbagai ciri yaitu:
-          Hanya mampu memahami etika dan norma yang berlaku dalam tataran verbal, tetapi tidak mampu menerapkannya dalam perilaku karena perilaku seorang psikopat didominasi impuls yang muncul sesaat. Maunya hidup nikmat tanpa kerja dan menginginkan segala sesuatu secara instan. Untuk itu segala cara dihalalkan. Bagi psikopat yang agresif, kalau perlu membunuh pun tidak masalah baginya, asalkan keinginan hidup nikmatnya tercapai segera.
-          Biasanya ia adalah seorang yang cerdas, luas dalam pergaulan, dan memiliki rasa humor yang baik sehingga lingkungan mudah tertarik kepadanya. Selain itu, kemampuan relasinya pun baik.
-          Tujuan hidup adalah melulu ditandai oleh kenikmatan saat ini, jadi sama sekali tidak mempertimbangkan hari esok. Falsafah hidupnya adalah bagaimana nanti, bukan nanti bagaimana.
-          Pada awalnya orang psikopat adalah pribadi yang sangat menarik sehingga orang cepat suka kepadanya, dengan demikian orang yang termanipulasi pun pada awalnya sering kurang menyadari.
-          Kecuali itu, dengan cepat pula, ia mampu melakukan rasionalisasi demi upaya pembenaran dirinya dan dengan secara meyakinkan lingkungan ia melemparkan kesalahan kepada orang lain.
-          Seburuk apa pun perilakunya, tidak akan mengubah ekspresi wajahnya.
-          Hukuman apa pun yang diberlakukan tidak pernah membuatnya jera sehingga tanpa rasa segan dia akan mengulang perilaku buruknya di kemudian hari.
Sementara itu seorang yang mengidap kelainan seksual seperti Homoseksual mempunyai ciri:
-          Homoseksual Eksklusif, yaitu yang benar-benar tidak mampu mengendalikan ketertarikan Erotik-Seksual terhadap sesama jenis kelamin.
-          Homoseksual Fakultatif, yaitu yang menjadi Homoseksual oleh keterbatasan yang amat sangat akan kehadiran lawan jenis di tempat di mana ia berada, seperti di penjara dalam waktu lama. → Kesimpulan kami, jadi seseorang yang lama mendekam di penjara akan menjadi seorang Homoseks karena tidak ada seorang lawan jenis sebagai pemuas nafsu seksnya, dengan kata lain terpaksa.
Jadi, didalam definisi Homoseksual sendiri, juga dibedakan menjadi dua garis besar ciri Homoseks. Disini, tentu saja kami mempercayai bahwa Homoseks yang melakukan tindak sadis mutilasi adalah Homoseks Eksklusif. Di AS sendiri, orang dengan kelainan Homoseks atau Lesbian malahan dikatakan sebagai dampak karena ada dari kedua orangtuanya yang memang Gay atau karena mereka diangkat anak (diadopsi) oleh sepasang Gay atau Lesbian.
American Psychological Association (APA), American Psychiatric Association, dan National Association of Social Workers pada tahun 2006 menyatakan:
“Saat ini, tidak ada kesepakatan ilmiah tentang faktor-faktor yang menyebabkan individu menjadi heteroseksual, homoseksual, atau biseksual -termasuk kemungkinan dampak biologis, psikologis, atau sosial orientasi seksual orang tua. Namun, bukti yang tersedia menunjukkan bahwa sebagian besar lesbian dan gay dewasa dibesarkan oleh orangtua heteroseksual dan sebagian besar anak-anak yang dibesarkan oleh orangtua lesbian dan gay tumbuh menjadi heteroseksual”- APA (American Psychological Association, 2006.
(sumber; http://id.wikipedia.org/wiki/Homoseksualitas#Percintaan_dan_hubungan_sesama_jenis).
TEMPO.CO, Depok - Terpidana mati kasus pembunuhan dan mutilasi, Very Idham Henyansyah alias Ryan, mengakui bahwa dia seorang psikopat. Ryan mengungkapkan hal itu seusai menjalani sidang peninjauan kembali kasusnya di Pengadilan Negeri Depok, Kamis, 22 September 2011. "Saya baru tahu ciri-ciri psikopat. Dari yang dipaparkan penasihat hukum tentang ciri-ciri psikopat, 100 persen semuanya ada dalam diri saya," kata Ryan. Dia berharap persidangan yang dijalaninya saat ini segera selesai. "Saya sudah capek, semoga hasil sidang PK ini membawa perubahan keputusan hukum untuk saya," ujarnya. Ryan divonis hukuman mati setelah terbukti membunuh Heri Santoso di apartemen milik Noval (teman Ryan) di Margonda Residence, Kota Depok, pada 2008. Sebelumnya Ryan sempat mengajukan kasasi, tapi ditolak oleh Mahkamah Agung. Setelah itu penasihat hukum mengajukan PK. Persidangan akan dilanjutkan pada Kamis, 29 September 2011. Saat ini Ryan dititpkan di LP Pondok Rajeg, Cibinong, Bogor. "Saya ingin cepat kembali ke Cirebon," kata Ryan. (sumber; http://www.tempo.co/read/news/2011/09/22/057357708/Ryan-Jagal-Mengaku-Psikopat).
Pada contoh informasi berita diatas, benar-benar membuktikan bahwa seorang pembunuh dan pelaku mutilasi macam Ryan Jombang pun tidak mampu membedakan apakah dia seorang pembunuh dengan latar belakang kelainan seksual ataukah karena dia seorang Psikopat, karena berbagai kemiripan dan kesamaan yang ada pada dua aspek itu, sehingga dia kebingungan dan mengaku-ngaku sebagai seorang Psikopat. Lalu kami pun bertanya-tanya apakah seorang dengan latar belakang Psikopat punya kelainan seksua seperti Homoseksual? Apakah Homoseksual adalah psikopat juga? Kami menarik kesimpulan bahwa seorang dengan latar belakang Psikopat bisa saja adalah seorang Homoseksual, tapi seorang Homoseksual belum tentu dia adalah seorang Psikopat juga. Alasan kami karena perkembangan kepribadian perilaku Psikopat pada seseorang bisa saja diikuti dengan perkembangan disfungsi identitas seksualnya sehingga dia menjadi Psikopat yang Homoseksual.
Seorang Psikopat adalah seorang yang munafik (serigala berbulu domba) dan pandai dalam menipu korbannya. Yang namanya Psikopat, sama sekali tidak ada rasa penyesalan dalam membunuh korbannya karena disitulah letak klimaks kepuasannya, sementara bagi pelaku dengan kelainan seksual, biasanya mereka akan menyesal telah membunuh korbannya dan akan pasrah dengan hukuman yang diterimanya. Contoh sederhananya; ada seorang anak namanya si Pandu adalah seseorang dengan pertumbuhan yang abnormal sehingga dia menjadi seorang pribadi yang memiliki akar Psikopat, dan kebetulan diikuti pula dengan penyimpangan seksualnya (Homo) karena alasan lain, jadi dia mendapat kenikmatan seksualnya dengan Sadism (melukai atau bahkan membunuh korban demi pemuasan seksualnya). Lalu ada lagi yang namanya si Rheza yang  adalah seorang dengan kelainan seksual (Homo), namun tidak mempunyai jiwa Psikopat sama sekali, jadi dia hanya menyukai sesama jenis dan mendapat kenikmatan klimaks seks dengan sodomi.
“Individu-individu dengan orientasi homoseksual dapat mengekspresikan seksualitasnya dalam berbagai cara, dan dapat atau dapat tidak muncul dalam perilaku mereka. Beberapa memiliki hubungan seksual dengan individu-individu dengan identitas gender sama, lain gender, biseksual atau dapat juga berselibat. Penelitian menunjukkan banyak pasangan lesbian dan gay yang menginginkan, dan berhasil dalam memiliki komitmen dan hubungan yang bertahan lama. Sebagai contoh, data survei menunjukkan bahwa antara 40% dan 60% pria gay dan antara 45% dan 80% dari lesbian saat ini terlibat dalam hubungan percintaan. Data survei juga menunjukkan bahwa antara 18% dan 28% dari pasangan gay dan antara 8% dan 21% dari pasangan lesbian di AS telah hidup bersama selama sepuluh tahun atau lebih. Sejumlah penelitian telah mengungkapkan bahwa pasangan homoseksual dan heteroseksual setara satu sama lain dalam ukuran kepuasan dan komitmen dalam hubungan percintaan, bahwa usia dan gender lebih dapat diandalkan sebagai alat ukur kepuasan dan komitmen hubungan percintaan, dan bahwa individu heteroseksual atau homoseksual memiliki harapan dan impian hubungan percintaan yang sebanding”.
Individu-individu gay, lesbian, dan biseksual dapat hidup bahagia dan memiliki hubungan dan keluarga yang stabil dan berkomitmen, setara dengan hubungan heteroseksual dalam pokok-pokok penting.
(sumber; APA <American Psychological Association>, 2005c; Kurdek, 2001, 2003, 2004; ® Peplau & Fingerhut, 2007) .
Dari pernyataan artikel diatas, kami mengambil kesimpulan bahwa tingkat kecemburuan kaum Gay atau Homoseks sangatlah besar, dan tentunya hal inilah yang mendorong seseorang dengan kelainan seksual ini untuk membunuh pasangannya. Hal ini dikarenakan dalam prinsip hidup seorang Gay, penuh dengan komitmen yang teguh kepada pasangan sesama jenisnya. Komitmen yang mereka miliki ini sangatlah peka dan berbeda dalam konteks komitmen hubungan yang normal antara laki-laki dan perempuan. Ikatan komitmen ini mencakup kasih sayang fisik non-seksual antara pasangan sesama jenisnya, tujuan dan nilai-nilai hidup bersama, sikap saling mendukung, dan komitmen berkelanjutan dimana semuanya ini benar-benar seperti kehidupan dalam komitmen berumah tangga. Kasus-kasus mutilasi karena latar belakang kelainan seksual yang sering kita dengar terutama karena adanya rasa cemburu yang kuat (seperti kasus Ryan dan Babe). Mereka sangat tidak bisa menerima apabila pasangan sesama jenisnya itu bergaul dengan orang lain dengan lebih intens (dekat).
Dijelaskan dalam sebuah artikel yang mendukung; “Kepala Satuan Kejahatan dengan Kekerasan, Ajun Komisaris Besar Fadhil Imran menambahkan, Kamis (16/7) siang, korban sekurangnya ditikam dalam 10 kali tikaman. Korban tewas Heri Santoso (40) misalnya, ia ditikam tersangka Ryan (Verry Idham Henyaksyah, 30) dengan sebelas kali tikaman. Juga pelaku dewasa dalam kasus sodomi anak-anak di bawah lima tahun yang pernah saya tangani. Tersangka, tega menikam korbannya yang masih kecil dengan 10 kali tikaman, hanya karena si anak yang sudah lama disodomi, hari itu menolak disodomi, papar Fadhil. Pelaku seolah ingin menunjukkan kepada orang lain bahwa ia benar-benar marah, lanjutnya. Menurut Fadhil, dalam kasus pembunuhan yang dilakukan masyarakat heteroseksual, pelaku cukup menikam korban sekali dua kali saja, tanpa atau dengan mutilasi”. (sumber; http://hizbut-tahrir.or.id/2008/07/23/kasus-mutilasi-pelaku-homoseksual).
Prof.  Dr. Marjono Reksodipuro, mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), yang dihubungi Kamis (17/7) mengatakan, identifikasi kasus dan pelaku yang disampaikan Carlo dan Fadhil belum menunjukkan kaum homoseksual lebih kejam dari masyarakat yang heteroseksual. Terkesan menjadi lebih kejam karena umumnya, kalangan homoseks meledak dalam basis crime of passion dengan latar belakang yang sama, soal pasangan seks.
Marjono mengatakan, basis kejahatan masyarakat heteroseksual lebih beragam dan latar belakang atau motifnya pun bermacam-macam. Itu sebabnya, prosentase rangkaian kejahatan keji yang dilakukan masyarakat heteroseksal, lebih kecil berbanding total kejahatan yang mereka lakukan.
Kejahatan homoseks yang muncul ke publik hanya rangkaian kejahatan keji, yang nyaris melulu menyangkut pasangan seks. Timbul kemudian citra, kaum homoseks itu umumnya keji.
Padahal, kekejian itu hanya sebatas menyangkut persoalan pasangan seks, kilah Marjono. Menurut dia, Crime of passion adalah ledakan kemarahan yang membabi buta karena merasa terhina, dan cemburu, yang membuat pelaku membunuh atau menganiaya berat. Biasanya berlangsung secara spontan, tidak terorganisir dan terencana. (sumber; http://hizbut-tahrir.or.id/2008/07/23/kasus-mutilasi-pelaku-homoseksual).
Jadi, orang yang Gay atau Homoseksual sebenarnya juga menginginkan kebahagiaan seperti layaknya sebuah kehidupan rumah tangga yang normal. Mereka juga ingin dianggap layaknya manusia biasa. Namun, kebudayaan negara kita yang sama sekali menolak hal-hal demikian memaksa mereka untuk mempraktekkan kehidupan Homoseks dengan sembunyi-sembunyi. Otomatis dalam hal ini, pasangannya juga dapat berasal dari sesama Homoseks atau dari orang normal yang biasanya memanfaatkan si Homoseks ini untuk mendapatkan keuntungan darinya, mis; harta, uang, dsb. Rata-rata Homoseksual yang melakukan tindakan pembunuhan dan mutilasi, akan melakukan hal ini apabila mereka dikhianati dalam hal percintaan. Seorang Homoseksual tidak pernah mengukur ataupun menilai sejauh mana ia mengeluarkan materi untuk pasangannya selama pasangannya tersebut setia kepadanya. Jadi, rasa senang dan puas yang mereka dapatkan saat membunuh dan memutilasi pasangan Homoseksualnya tersebut menegaskan pada diri si pelaku bahwa korban adalah benar-benar 100% miliknya dengan membunuhnya dan memutilasinya, kepuasan dan klimaks terletak pada proses ini. Seperti yang sudah dikatakan Freud bahwa; “Sebagian tertentu dari rangsangan-komponen insting seksual mempunyai satu objek sejak awal sekali dan terus mempertahankannya; misalnya rangsangan untuk menguasai (Sadisme), untuk menatap (Skoptofilia), dan rasa ingin tahu”. (sumber; a General Introduction to Psychoanalysis ® Psikoanalisis Sigmund Freud-Ikon Teralitera Yogyakarta, 2002), Hal. 357. Kami melihat bukti yang menunjang, dimana seorang Homoseksual benar-benar menginginkan kehidupan sejati bersama pasangannya, disini dijelaskan dalam artikel yang mengatakan; - “Kesimpulannya, para pakar kejiwaan dan peneliti telah lama mengakui bahwa menjadi Homoseksual tidak menimbulkan hambatan untuk menjalani hidup yang bahagia, sehat, dan produktif, dan bahwa sebagian besar kalangan gay dan lesbian bekerja dengan baik di berbagai lembaga sosial dan hubungan interpersonal." (sumber; http://id.wikipedia.org/wiki/Homoseksualitas#Percintaan_dan_hubungan_sesama_jenis.)

2.2. Dari Sudut Pandang Para Psikolog dan Kriminolog
(Jakarta) - Terkait penemuan beberapa bagian tubuh manusia di jalan tol Cikampek arah Bekasi yang diduga kasus mutilasi membuat perhatian Kriminolog yang melihat kasus tersebut.
Menurut pandangan salah seorang Kriminolog, Reza Indragiri mengatakan bahwa faktor pelaku memutilasi korbannya merupakan tindakan untuk menghilangkan jejak. "Kalau instrumental, dia mencabut nyawa korban. Tapi mutilasi punya tujuan tertentu untuk menghilangkan barang bukti. Tidak ada sangkut paut dengan perasaan amarah," ujar Reza saat dihubungi, Rabu (6/03). Selain itu Reza mengungkapkan bahwa tindakan mutilasi tersebut merupakan bentuk ekspresi kemarahan pelaku. "Si pelaku tidak cukup membunuh korban. Untuk meluapkan ekspresi kemarahannya, tapi juga melakukan cederaan parah," lanjutnya.
Ia menjelaskan terkait potongan yang ditemukan akan memberikan gambaran pelaku melakukan mutilasi itu. "Untuk alasan pelaku memutilasi korban bisa dilihat dari potongan tubuh, potongan itu akan memberikan gambaran pelaku melakukan mutilasi. Pada akhirnya dia merasakan emosional yang dahsyat," jelasnya. Selain itu, dalam kasus mutilasi signifikan asumsi awal dendam, sakit hati, tapi Reza menekankan kalau proses pembelajaran, ini bukan emosi. Tapi ini merupakan bentuk pembelajaran pelaku yang tak sempurna.
"Ada proses pembelajaran yang tak sempurna. Karena ada muatan kecemasan tidak sempurna akhirnya pelaku berpikir untuk membuang tidak sampai ke titik tujuan yang diinginkan sebelumnya, biasanya idealnya pelaku membuang di tempat sampah. Tapi karena cemas dia buang ke titik pertengahan," jelasnya. Dalam setiap kasus mutilasi, Reza mengkhawatirkan terkait petugas Kepolisian yang kurang cepat dalam setiap pemecahan kasus mutilasi. "Dalam kasus mutilasi yang saya khawatir track record polisi memecahkan kasus mutilasi nggak begitu baik. Dari yang sudah-sudah tidak ada peristiwa tunggal, ada terjadi lagi. Diduga akan ada lagi korban. Yang saya khawatirkan, pelaku tampaknya orang itu-itu lagi. Dia mengalami peningkatan kecanggihan pelaku. Modusnya dia belajar," paparnya.
Ia juga menerangkan secara statistik kasus pembunuhan banyak. Tapi mutilasi tak banyak. "Kalau kesimpulan cenderungan orang dekat agak rapuh, karena datanya sedikit. Kecuali kekerasan seksual pada anak," tukas Reza Indragiri. (K-4/Shilma). (sumber; http://oktaviack.blogspot.com/2013/03/kriminolog-mutilasi-bentuk-ekspresi.html).
Pendapat Ahli Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Adrianus Meliala. Menurut Adrianus, pembunuhan itu (mutilasi) terjadi akibat ekses hubungan platonis dari cinta hubungan sejenis. : "Dari sisi akademis, hubungan cinta sejenis bukan hubungan yang sehat, seperti egosentrik. Kalau kita (kaum heteroseksual) bilang cinta, itu bukan berarti memiliki. Tapi bagi pasangan sejenis, cinta harus memiliki," katanya. Adrianus memaparkan, dalam cinta platonis, tidak ada istilah selingkuh atau pindah ke lain hati bagi pasangan sejenis. Mereka akan berpikir, dari pada pindah ke orang lain atau kehilangan pasangan maka lebih baik dimatikan saja. Jadi lose-lose, tidak ada yang dapat pasangannya.
Selain itu semakin dikuatkan oleh Psikolog Liza Marielly Djaprie, penyakit menyukai sesama jenis ini sebenarnya masih bisa disembuhkan asalkan tidak disebabkan gen atau pembawaan dari lahir. Pelaku hubungan seks sesama jenis yang dilatarbelakangi trend atau gaya hidup masih bisa disembuhkan dengan kemauan orang tersebut. "Tipe seorang gay yang bukan karena gen atau bawaan lahir seperti pendulum. Pendulum bisa digerakkan ke kiri atau ke kanan tergantung dari keinginan yang menggerakkan pendulum tersebut," jelas Liza. (sumber; http://spiritual-indonesia.10925.n7.nabble.com).
Menurut dia (Guru Besar Fakultas Psikologi UI, Prof. Dr. Sarlito Wirawan) dan Adrianus, dalam menjalin asmara, kaum homoseks tidak mengenal konsep belahan jiwa. Mereka hanya mengenal konsep pembagian peran yang permanen antara perempuan dan pria . Peran tersebut mereka jalankan sampai mereka ajal. Fungsi-fungsi dalam organ tubuh pria dan perempuan tidak penting bagi mereka. Yang mereka utamakan pembagian peran pria dan perempuan. Itu bedanya homoseks dengan waria. (sumber; http://hizbut-tahrir.or.id/2008/07/23/kasus-mutilasi-pelaku-homoseksual).
Pembagian peran ini kata Adrianus dan Sarlito, menentukan eksistensi setiap homoseks. Jika salah seorang dari pasangan homoseks hilang (lari, selingkuh, kembali menjadi pria sesuai fungsi tubuhnya, atau meninggal), maka homoseks lainnya mengalami krisis peran, krisis eksistensi. Itulah yang membuat tersangka Ryan memutilasi Heri. Ryan tidak ragu menghabisi Heri karena Ryan merasa perannya sebagai perempuan terancam oleh ucapan Heri. (sumber; http://hizbut-tahrir.or.id/2008/07/23/kasus-mutilasi-pelaku-homoseksual).
Kriminolog UI lainnya, Prof. Dr. Ronny Niti Baskoro, mengutip sejumlah hasil riset internasional mengakui, kaum homoseks lebih keji ketika meledak ketimbang kaum lesbian. Bukan hanya karena yang satu pria dan yang lain perempuan, tetapi juga karena pasangan homoseks lebih terbuka, lebih loyal dan setia, serta berbasis pada kasih sayang pasangan ketimbang kebutuhan seksual mereka. Bisa dimaklumi bila kemarahan mereka menjadi seperti amuk bila dikhianati pasangannya, atau pasangannya direndahkan, paparnya.
Kaum lesbian umumnya, lanjut Ronny, berbanding sebaliknya. Mereka lebih sebagai pasangan yang tertutup, lebih mengutamakan kepuasan seksual ketimbang kesetiaan, dan lebih mudah kembali menjadi perempuan sesuai organ tubuhnya, atau kembali lagi menjadi lesbian ketika menemukan pasangan yang cocok. Karena sifat komunitasnya itu, kaum lesbian lebih mudah menjadi biseks ketimbang kaum homoseks. Kaum homoseks yang menikah lain jenis, ia menikah hanya sebagai kedok saja. Dia tetap homoseks dan bukan biseks, tegas Ronny. (Kompas,Selasa, 22 Juli 2008 | 06:19 WIB). (sumber; http://hizbut-tahrir.or.id/2008/07/23/kasus-mutilasi-pelaku-homoseksual).
 Bab. III
Dampak Kasus Mutilasi Dengan Latar Belakang Kelainan Seksual Pada Masyarakat

3.1. Dampak Umum
Jika ada suatu masalah atau kasus apalagi kasus pembunuhan dalam bentuk yang sadis, maka akan timbul berbagai respon dari masyarakat, baik itu yang memandang dari segi positif ataupun negatif. Bahkan ada suatu respon dari masyarakat yang memandang bahwa tindak kejahatan mutilasi adalah suatu tindak kejahatan yang biasa-biasa saja.
Mengenai kasus mutilasi dengan latar belakang kelainan seksual (Homoseksual), tentunya pendapat masyarakat akan beragam. Kami mengambil contoh apabila orang dari daerah (dari desa atau kota kecil) selain kota Besar (mis; DKI Jakarta, Bandung), mereka akan menilai bahwa pembunuhan dan mutilasi itu adalah tindakan yang sadis dan kejam, tidak beradab dan tidak berperikemanusiaan. Mereka akan mulai merasa marah atau emosi dengan pelaku pembunuhan mutilasi itu dan akan mengatakan jika pelaku sadis seperti itu pantasnya dihukum mati.
Namun, orang-orang Jakarta akan memberi pendapat ringan, menganggap sepele hal itu dan menilai peistiwa itu sebagai hal yang biasa saja karena begitu banyaknya kasus dan berita pembunuhan dengan mutilasi sehingga mereka akan menganggap hal itu adalah hal biasa saja. Biasanya mereka akan menilai yang pertama sekali, bahwa pelaku melakukan hal itu karena jengkel atau karena mempunyai dendam kesumat. Kesan masyarakat yang terburu-buru ini kadang akan berubah apabila mereka mengetahui latar belakang dari kasus mutilasi tersebut, apalagi jika kasusnya adalah karena kelainan seksual.
Bahayanya adalah, masyarakat akan terus direcoki dengan pemberitaan kasus mutilasi ini sehingga menganggap hal yang melampaui norma kehidupan sebagai sesuatu yang benar-benar biasa saja. Mungkin saja dalam suatu pertikaian kecil antara seseorang dan orang lainnya akan berujung pada tindak pembunuhan dan mutilasi. Karena kalau kami melihat selama ini, masyarakat itu sukanya tiru-tiru, apalagi dari tayangan TV.
Contohnya; jika ada trend fashion baju ala Korea pasti akan ditiru, anak-anak kecil yang meniru gaya dan pertarungan duel ala Smack Down tokoh idolanya seperti John Cenna dan Rey Mysterio (karena adegan pertarungan sadis) sehingga kamudian banyak korban meninggal berjatuhan, trend operasi plastik dan Botox untuk kecantikan wajah atau trend operasi payudara menggunakan Silicon yang banyak juga mengalami kegagalan.
Bukan hanya masyarakat, dari pihak TV juga kadangkala suka meniru-niru program tayangan dari luar negeri, misalnya; karena ada American Idol dan American Got’s Talent, maka mulailah banyak juga program pencarian bakat yang menjiplak dari luar negeri itu seperti Akademi Fantasi Indosiar, Indonesia Mencari Bakat, Who Want’s To Be A Milionaire, dsb. Seperti yang dikatakan oleh Sosiolog asal Perancis Gabriel Tarde (1843-1904) - ”Society is imitation”, artinya masyarakat selalu dalam proses meniru (imitasi). Ketika orang tiap hari dicekoki nilai-nilai keras dan kasar, masyarakat pada akhirnya akan meniru. Oleh karena itu, hal ini mempunyai dampak yang negatif, mengingat media massa yang menampilkan kejahatan mutilasi cenderung malahan kian menginspirasi orang dalam melakukan kejahatan.
Jadinya, media massa malah menjadi sarana pelajaran bagi seorang penjahat atau pelaku pembunuhan untuk menerapkan modus-modus baru. Ambillah contoh; modus baru dimana penjahat membius korbannya dengan pura-pura menawarkan air mineral yang sudah disuntik dengan Chlorofil (obat bius). Kejadian ini terjadi karena di TV disiarkan mengenai pemakaian illegal bahaya obat bius.
3.2. Dampak Khusus
Dengan melihat berbagai macam dampak umum pemberitaan kasus pembunuhan mutilasi yang kian marak, maka kami mempunyai pandangan, kemungkinan besar masyarakat yang mempunyai perselisihan atau bahkan mungkin mempunyai kelainan Psikopat bukan tidak mungkin akan meniru tindakan ini dan mempelajari proses dari tindakan ini. Alasan pertama yang mendukung pandangan kami adalah, karena calon pelaku akan semakin cerdas dan mulai menangkap berbagai macam keuntungan dari tindak kejahatan mutilasi yakni menghilangkan jejak dan membuat Polisi bingung untuk mengidentifikasi korban. Kedua, calon pelaku mutilasi memudahkan dirinya untuk lolos menjadi tersangka karena seolah-olah jalinan antara pelaku dan korban telah terputus dengan tindak mutilasi ini, Karena si pelaku akan berpikir bahwa dengan memutilasi korbannya maka dia telah menuntaskan kejahatan yang dilakukannya menjadi hilang tak berbekas – tidak adanya rasa bersalah → menyulitkan proses investigasi (disamping karena motif kelainan seksual).
3.3. Tanggapan Media
Dalam hal ini, kami menangkap ada kesan bahwa media pun dipersalahkan karena menampilkan rekonstruksi pembunuhan dan mutilasi pada berita di TV. Maka disini, media pun memberikan tanggapannya terhadap stigma miring ini. Dalam artikel sebuah koran di Jakarta dikatakan;
“.... Kemiskinan dan peran media massa dituduh sebagai biang maraknya aksi-aksi kejahatan yang terjadi di Ibu Kota, akhir-akhir ini. Dengan bertubi-tubinya menampilkan kejahatan, akhirnya masyarakat mudah meniru dan kejahatan sudah menjadi budaya. Demikian yang terungkap dalam wawancara secara terpisah dengan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, Dosen Kriminologi UI Adrianus Meliala, dan Pakar Kriminologi Erlangga Masdiana secara terpisah di Jakarta, Minggu (10/3)
Menyeruaknya aksi kejahatan, di mata Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, karena kemiskinan. "Ya kalau kita lihat memang di Jaktim penduduknya memang paling banyak, paling padat, dan kemiskinan di sana juga paling tinggi," tegas Jokowi, beberapa waktu lalu.
Di mata kriminolog , Erlangga Masdiana, kriminalitas secara kuantitas tidak bisa dikatakan meningkat, tetapi intensitas keseriusannya yang makin tinggi. "Jika dulu orang merampok saja, sekarang merampok serta membunuh", ungkap Erlangga, ketika dihubungi Koran Jakarta, Minggu (10/3).
Selain itu, kata Erlangga, tingkat seriusnya aksi kejahatan tidak terlepas dari peran media. Media justru berperan menyuburkan budaya kekerasan. Masyarakat malah menjadi akrab dengan kejahatan, terbiasa dengan kejahatan, karena suguhan media yang membanjir. "Media seharusnya jangan hanya berhenti pada melaporkan peristiwa, jangan cuma ingin menampilkan histeria saja," tutur dia. Menurut Erlangga, media mengemban tanggung jawab sosial, yakni fungsi edukasi, untuk turut mencegah terjadinya kejahatan, bukan malah menginspirasi orang untuk melakukan kejahatan. Banyaknya pembunuhan dengan mutilasi bisa menjadi indikasi banyaknya imitasi atau peniruan dalam melakukan aksi kriminal.
Hal sedana dikatakan dosen Kriminologi UI, Adrianus Meliala. Menurut Adrianus, seseorang bisa melakukan tindakan sadis karena mempelajari tindakan itu setelah melihat orang lain melakukannya. Media sangat berpotensi sebagai sarana imitasi tindakan-tindakan sadis. "Itu karena diberitakan saja, kalau zaman dulu kan tidak." Meski demikian, kejahatan, menurut Erlangga, merupakan suatu hal yang biasa dalam masyarakat. Tetapi, di satu sisi, kejahatan juga membuat masyarakat bisa lebih waspada dan berhati-hati. 
Namun, kata Erlangga, aksi kejahatan tersebut tidak bisa dibiarkan, tetapi yang harus dipikirkan adalah bagaimana mencegahnya. Sementara itu, Adrianus menekankan bagaimana kejahatan itu bisa dikendalikan. Pengendalian ini akan membentur tembok tebal jika budaya kekerasan di dalam masyarakat masih ada. (sumber; http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/114295, Jum'at, 22 Maret 2013).
Menanggapi hal itu, pihak media pun memberikan keterangan dan klarifikasi seputar penayangan dan pemberitaan yang mereka siarkan mengenai kasus-kasus pembunuhan;
Pemimpin Redaksi Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) Arief Suditomo yang dihubungi semalam mengatakan, ”Perilaku seseorang tidak ditentukan dari pola konsumsi media yang diterima. Tidak serta-merta seseorang jadi pembunuh atau bertindak seronok setelah menonton televisi.”
Meskipun demikian, ia mengatakan, pihaknya menghindari pemberitaan yang bombastis dan sensasional, termasuk dalam tayangan kriminal. ”Kebijakan editorial RCTI adalah bagaimana mengadvokasi dan menginspirasi serta mendapatkan kepercayaan publik,” ujar Arief. Ia mencontohkan sosok Bang Napi di Program Sergap yang diadakan untuk membangun kewaspadaan. Arief percaya sebuah berita yang baik tidak bersifat bombastis.
Levi Siahaan, produser feature kriminal di sebuah stasiun televisi swasta, mengatakan, tayangan kejahatan yang berlebihan memang bisa menginspirasi. ”Berita kriminal menempatkan penjahat menjadi tokoh sentral, dan seolah-olah menjadi sosok penting. Banyak reporter televisi lupa akan fungsi edukasi media,” kata Siahaan.
Dodo, reporter senior berita kriminal di sebuah stasiun televisi, menambahkan, liputan dan tayangan berita kriminal sudah seperti perburuan sensasi infotainment. ”Yang dicari hanya kehebohan. Dampak pemberitaan kerap diabaikan,” kata Dodo.
(sumber:kompas.com 14 januari 2012 - http://mediaku.org/media-bisa-menginspirasi-kejahatan/).

Jadi menurut kami, Media juga tidak bisa 100% dipersalahkan karena pastinya masyarakat akan selalu menemukan berbagai hal yang baru tanpa harus melihat media. Hanya saja tentunya, dari pihak media juga dengan bijak mampu memilah-milah dan menayangkan berita dengan baik, tanpa harus merusak nilai-nilai dan norma yang sudah ada. Berbagai segi positif dari media juga memberi banyak manfaat dan kontribusi dalam menekan angka kejahatan. Dalam hal ini, kasus mutilasi walaupun berdampak pada masyarakat terutama masyarakat dengan strata pendidikan yang rendah namun sebagian besar disebabkan bukan karena media melainkan karena pola pikir dan mindset dari masyarakat itu sendiri.
Kasus mutilasi yang marak terjadi ini pastinya akan membawa dampak positif maupun negatif, tergantung dari mana kita melihat konteksnya. Kita harusnya dengan bijak mampu melihat sisi positif dari pemberitaan yang gencar mengenai kasus mutilasi ini yaitu kita diminta untuk senantiasa berhati-hati dan senantiasa menjaga lingkup pergaulan kita dari pengaruh yang buruk.


Bab. IV
Kesimpulan

Dari sini kami dapat mengambil kesimpulan bahwa pelaku Homoseksual merupakan seseorang yang mengalami perubahan seksualitas dari masa pubertasnya, atau jika dilihat dari 5 fase Psikoseksual adalah dimulai dalam tahap fase Latency. Kelainan ini bisa merupakan perubahan orientasi seksualnya sendiri atau karena perasaan traumatis sedari masa kecilnya dimana dia mengalami pelecehan seksual berulang kali. Dengan demikian, adanya dorongan seksual yang menyimpang, yang tersimpan di alam bawah sadarnya untuk memenuhi pemenuhan kebutuhan seksual menjadi dorongan seksual kepada sesama jenis.
Pelaku kasus mutilasi dengan latar belakang kelainan seksual memiliki motif asmara dimana si pelaku tidak menginginkan korbannya, yaitu pasangannya untuk pergi meninggalkan dia (pelaku). Perasaan cemburu dan perasaan terhina akan membuat seorang Homoseksual akan melakukan apa saja supaya pasangannya tidak pergi meninggalkannya, termasuk menghabisi nyawa pasangannya. Perasaan puas yang mereka dapatkan saat memutilasi korbannya adalah klimaks dar tindakannya dalam menghabisi nyawa korbannya itu.
Didalam kehidupan Homoseksual, akan menjadi berbeda apabila disamakan dengan Waria. Jika Waria adalah seseorang lelaki yang ingin mengubah identitas kelaminnya, namun tidak demikian dengan Homoseksual. Kaum Homoseks membutuhkan peranan dalam hidup berpasangan. Peranan itu menempatkan seorang pasangan menjadi seperti seorang istri (perempuan). Jika salah seorang dari pasangan Homoseks ini hilang (lari, selingkuh, kembali menjadi pria sesuai fungsi tubuhnya <menjadi normal>, atau meninggal), maka homoseks pasangannya mengalami krisis peran dan krisis eksistensi.
Disini, media massa pun juga turut andil dalam berbagai macam tindak kejahatan mutilasi karena selalu menayangkan proses rekonstruksi ataupun memasang gambar-gambar sadisme korban pembunuhan. Masyarakat yang kebanyakan adalah masyarakat dengan strata pendidikan menengah kebawah tentunya lebih mudah terpengaruh dan mengimitasi perbuatan kejahatan ini apabila mereka dihinggapi insting membunuh saat merasa emosinya meledak.
Oleh karena itu, masyarakat perlu diberikan penyuluhan dan pengertian mengenai kelainan seksual (Homoseks dan Lesbian), dan bentuk-bentuk kejahatan yang melatarbelakanginya karena tidak semua Homoseksual mempunyai insting membunuh Psikopat dan tidak semua Homoseksual itu adalah buruk. Selain itu pula pendidikan ini memberikan pengertian kepada masyarakat mengenai perbedaan kaum Homoseksual, kaum Biseksual, dan kaum Heteroseksual.
Karena pada umumnya, masyarakat tidak bisa membedakan mana itu Waria dan mana itu Gay. Sama seperti mereka tidak bisa membedakan mana Lesbian dan mana yang Biseksual. Pemahaman ini perlu dijelaskan kepada masyarakat agar masyarakat tahu motif kelainan seksual yang mendasari suatu kasus pembunuhan, berikut dengan penanganannya yang juga berbeda bila dibandingkan dengan pembunuhan berencana biasa atau psikopat.


Daftar Sumber

KBBI terbitan Balai Pustaka Cetakan ke-1 Edisi I, 28 Oktober 1988 (sumber;http://badanbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi).
KBBI Cetakan ke-9 Edisi IX terbitan Balai Pustaka – Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1997.
Webster's Unabridged Dictionary Webster ® 1913 Dictionary edited by Patrick J. Cassidy (sumber; http://www.answers.com/topic/mutilation).
The American Heritage  Stedman's Medical Dictionary Copyright © 2002, 2001, 1995 by Houghton Mifflin Company (sumber; http://www.answers.com/topic/mutilation).
William C. Burton, Burton's Legal Thesaurus, 3rd ed, New York Library: ©McGraw-Hill Dictionary, 1998" (sumber; www.hukumonline.com).
(American Psychological Association) APA  Dictionary of Psychology ® Gary R. VandenBos, PhD, 2007.
Black’s Law Dictionary (sumber; www.hukumonline.com)
Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi, 2009 – Mata Studi Psikologi Umum Smt. 1
a General Introduction to Psychoanalysis ® Psikoanalisis Sigmund Freud – Ikon Teralitera Yogyakarta, 2002.
APA (American Psychological Association), 2005 © Kurdek, 2001, 2003, 2004; ® Peplau & Fingerhut, 2007.
www.kompas.com 14 januari 2012

Mengenai Saya