Tugas
Mandiri Mahasiswa Psikologi Sosial
Makalah
Kasus Mutilasi
Dengan
Latar Belakang Homoseks
Penyusun
:
Rheza Pandu
Heriyanto (13120011)
Vidianto
Risan (13120018)
Willy
Sohlehudin (13120015)
Universitas
Bunda Mulia Jakarta
Program
Studi Psikologi
Maret
2013
|
Puji syukur ke
hadirat Tuhan Allah Yang Maha Kuasa, atas segala berkat-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah mengenai kasus Mutilasi dengan latar belakang
kelainan seksual ini tepat waktu dan lancar. Dimana, belakangan ini memang marak
sekali kita mendengar tentang korban pembunuhan mutilasi dengan berbagai macam
latar belakang dan motif, terutama karena kehidupan seksual yang menyimpang dari
si pelaku.
Tujuan kami
menulis makalah Mutilasi ini adalah untuk memberikan sedikit pengetahuan dan
informasi kepada pembaca mengenai apakah itu kejahatan Mutilasi dan apakah yang
mendorong seseorang dengan kelainan seksual untuk melakukan tindak mutilasi.
Kami juga ingin supaya pembaca mengetahui berbagai macam perbedaan dalam
jenis-jenis penyimpangan seksual. Semoga makalah ini bisa menjadi sarana
pengetahuan maupun pedoman bagi pembaca dalam menambah wawasan dan informasi.
Dalam penyusunan
makalah ini, kami menyadur dari berbagai macam sumber yang tentunya dapat
dipercaya. Dalam penyusunan makalah ini, kami juga melampirkan berbagai macam
pandangan dan pendapat dari para ahli baik itu dari Psikolog maupun dari
Kriminolog dalam menyikapi kasus Mutilasi yang marak terjadi di Indonesia
belakangan ini, termasuk, kasus terbaru yang terjadi di dekat lingkungan
Universitas Bunda Mulia, yakni di daerah Lodan Raya.
Makalah ini kami
akui masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, karena pengalaman yang
kami miliki juga sangat kurang. Oleh karena itu, kami mengharapkan kepada
pembaca untuk memberikan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
makalah ini selanjutnya. Akhir kata kami mengucapkan limpah terimakasih. Salam
damai Tuhan memberkati.
Jakarta, 23
Maret 2013
Penyusun
Rheza Pandu
Heriyanto – Vidianto Risan – Willy Sohlehudin
@
- Concéntro ét Proficio - @
Bab
I
Pengertian
Umum, Sejarah, dan Jenis-jenisnya
1.1. Pengertian Umum
Kata "Mutilasi"
belakangan ini seperti yang sering kita dengar dan memang sering dipakai oleh
media massa (TV, Radio, Koran, dll), untuk menggambarkan suatu tindakan kejahatan
pembunuhan yang disertai dengan praktek sadisme berupa memotong bagian-bagian
tubuh korban. Sebenarnya, apa sih arti kata mutilasi itu?
Kamus
Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) terbitan Balai Pustaka mengartikan; (mu·ti·la·si) n proses atau tindakan memotong-motong
(biasa-nya) pada tubuh manusia atau hewan – KBBI terbitan Balai
Pustaka Edisi I, 28 Oktober 1988
(sumber; http://badanbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi).
Bahkan pada KBBI Cetakan ke-9
terbitan Balai Pustaka – Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, tahun 1997
juga memuat arti kata yang sama. Lalu disini, kami mencari-cari
apakah kata “Mutilasi” sendiri adalah kata asli dalam bahasa Indonesia atau
kata serapan dari bahasa asing. Maka kami mencoba mencarinya dari berbagai
Kamus bahasa asing.
Dalam Webster Unabridged Dictionary dikatakan; [L. mutilatio: cf. F. mutilation.]
The act of mutilating, or the state of being mutilated; deprivation of a limb or of an essential part - terj: [L. mutilatio :cf. F. Mutilasi.] Tindakan mutilasi, atau keadaan yang dimutilasi, kekurangan anggota tubuh atau bagian penting - Webster's Unabridged Dictionary Webster ® 1913 Dictionary edited by Patrick J. Cassidy (sumber; http://www.answers.com/topic/mutilation).
The act of mutilating, or the state of being mutilated; deprivation of a limb or of an essential part - terj: [L. mutilatio :cf. F. Mutilasi.] Tindakan mutilasi, atau keadaan yang dimutilasi, kekurangan anggota tubuh atau bagian penting - Webster's Unabridged Dictionary Webster ® 1913 Dictionary edited by Patrick J. Cassidy (sumber; http://www.answers.com/topic/mutilation).
Dalam American Heritage Stedman’s Medical Dictionary dikatakan; (myūt'l-ā'shən
read: myutileisyen) n
Disfigurement or
injury by removal or destruction of a conspicuous or essential part of the body
– terj: ( myūt ' l-ā ' shən baca:
myutileisyen ) n.
Cacat atau cedera
dengan menghilangkan atau merusak bagian mencolok atau terpenting dari tubuh - The
American Heritage Stedman's Medical
Dictionary Copyright © 2002, 2001, 1995 by Houghton
Mifflin Company (sumber; http://www.answers.com/topic/mutilation).
Sementara, kata mutilasi menurut Burton's
Legal Thesaurus berarti;
(Mutilate) n amputate, batter, blemish, broise, butcher, cripple, cut, damage,
debilitate, deface, deform, deprive of an important part, disable, disfigure,
dismantle, dismember, distort, gash, impair, incapatitate, injure, knock out of
shape, lacerate, maim, mangle, render a document imperfect – terj:
"mengamputasi, memukul berulang-ulang, cacat, broise, membantai, cacat,
memotong, kerusakan, melemahkan, merusak, kehilangan, menghilangkan suatu
bagian penting, menonaktifkan, menjelekkan/membuat jelek, membongkar,
memotong-motong, mendistorsi, luka, merusak, incapatitate, melukai, merusak
dari bentuk semula, mencabik, membuat cacat, mangle, menyebabkan sebuah dokumen
tidak sempurna - William C. Burton, Burton's Legal
Thesaurus, 3rd ed, New
York Library: ©McGraw-Hill
Dictionary, 1998" (sumber;
www.hukumonline.com).
Dalam APA Dictionary of Psychology dikatakan; (Mutilation) n 1. The destruction or removal of a
limb or an essential part of the body. 2. A destructive act causing a
disfiguring injury to the body. See also SELF-MUTILATION – terj: (Mutilasi) n 1. Perusakan
atau penghilangan anggota tubuh atau bagian penting dari tubuh. 2. Sebuah
tindakan destruktif menyebabkan cedera menodai bagi tubuh. Lihat juga mutilasi
diri – (sumber; American
Psychological Association Dictionary of Psychology ® Gary R. VandenBos, PhD,
2007).
Di dalam konteks hukum pidana,
pengertian mutilasi adalah dikatakan dalam
Black’s Law Dictionary sebagai; “the act of cutting off or permanently
damaging a body part, esp. an essential one” – terj: tindakan memotong atau merusak permanen bagian tubuh, esp. yang
penting salah satu – Black’s
Law Dictionary (sumber; www.hukumonline.com).
Psychology in
Law, merupakan aplikasi praktis psikologi dalam bidang hukum seperti psikolog diundang
menjadi saksi ahli dalam proses peradilan. Psychology and law, meliputi bidang
psycho-legal research yaitu penelitian tentang individu yang terkait dengan
hukum seperti hakim, jaksa, pengacara, terdakwa. Psychology of law, hubungan
hukum dan psikologi lebih abstrak, hokum sebagai penentu perilaku. Isu yang
dikaji antara lain bagaimana masyarakat mempengaruhi hukum dan bagaimana hukum
mempengaruhi masyarakat. (sumber; http://forum.psikologi.ugm.ac.id/psikologi-sosial).
Jadi,
dapat kami simpulkan menurut pandangan kami disini, bahwa arti kata mutilasi
dalam konsumsi bahasa sehari-hari (dalam konteks bahasa Indonesia yang baku dan
sederhana), mutilasi bisa diartikan sebagai kegiatan mengiris, memotong,
mencincang, atau menyayat sesuatu benda menjadi terpisah satu sama lain dari
bentuk utuh aslinya.
1.2. Sejarah
Mutilasi
Menjadi
pertanyaan kami, apakah mutilasi memang mempunyai sejarah panjang dari awal
mula praktek sadisme ini. Disini kami mendapatkan sebuah fakta yang mengupas
mengenai praktek mutilasi pada jaman dahulu kala dengan berbagai aspek yang
melatarbelakangi.
-
Aspek
Hukum: Kebudayaan Mesir Kuno; “... Hukuman untuk
kejahatan ringan di antaranya pengenaan denda, pemukulan, mutilasi di
bagian wajah, atau pengasingan, tergantung kepada beratnya pelanggaran.
Kejahatan serius seperti pembunuhan dan perampokan makam dikenakan hukuman mati
seperti pemenggalan leher, penenggelaman, atau penusukan. Hukuman juga
bisa dikenakan kepada keluarga penjahat.” (sumber; http://id.wikipedia.org/wiki/Mesir_Kuno).
-
Aspek Adat Budaya: Suku Dani di Papua punya Tradisi potong jari. Banyak
cara menunjukkan kesedihan dan rasa duka cita ditinggalkan anggota keluarga
yang meninggal dunia. Butuh waktu lama untuk mengembalikan kembali perasaan
sakit akibat kehilangan. Namun berbeda dengan Suku Dani, mereka melambangkan
kesedihan lantaran kehilangan salah satu anggota keluarga yang meninggal. Tidak
hanya dengan menangis, tetapi memotong jari. Bila ada anggota keluarga atau
kerabat dekat yang meninggal dunia seperti suami, istri, ayah, ibu, anak dan
adik, Suku Dani diwajibkan memotong jari mereka. Mereka beranggapan bahwa
memotong jari adalah symbol dari sakit dan pedihnya seseorang yang kehilangan
anggota keluarganya. Pemotongan jari juga dapat diartikan sebagai upaya untuk
mencegah ‘terulang kembali’ malapetaka yangg telah merenggut nyawa seseorang di
dalam keluarga yg berduka. (sumber; http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dani#Tradisi_Potong_Jari).
-
Aspek Keagamaan: Kebudayaan Suku Aztec kuno, yang dapat kami
rangkumkan (karena begitu banyak artikel disana) dimana pada masa kebudayaan
suku Aztec di Amerika Latin, menerapkan praktek mutilasi untuk upacara atau
ritual keagamaan yaitu seorang manusia akan dikorbankan kepada dewa matahari di
puncak altar piramid dengan diambil jantungnya lalu kemudian mayatnya
dipotong-potong menjadi beberapa bagian untuk kemudian dimasak dagingnya
dan dimakan beramai-ramai (Kanibalisme). Mereka mempercayai bahwa dengan
melakukan ritual itu hasil panen jagung (makanan keramat bagi suku ini) akan
berlimpah dan menghindarkan amarah dewa matahari yang akan mengirimkan
kekeringan. (sumber;
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Aztec).
-
Psikopat: Dalam masa modern ada "Jack the Ripper" (bahasa Indonesia: "Jack sang Pencabik")
adalah julukan paling terkenal yang diberikan kepada pembunuh berantai tak dikenal yang aktif di kawasan
miskin di sekitar distrik Whitechapel, London, pada tahun 1888. Dialah yang memulai era mutilasi di jaman
modern. Julukan ini berasal dari sebuah surat yang ditulis oleh seseorang yang
mengaku sebagai pembunuh, yang kemudian disebarkan di media. Surat tersebut
secara luas diyakini adalah tipuan, dan kemungkinan ditulis oleh seorang
jurnalis yang berupaya untuk meningkatkan minat publik terhadap misteri
tersebut. Julukan lainnya yang digunakan untuk sang pembunuh pada saat itu
adalah "Pembunuh Whitechapel" dan si "Kulit Apron".
Pembunuhan yang
dilakukan Ripper umumnya melibatkan wanita tuna susila yang berasal dari daerah kumuh dengan
cara memotong tenggorokan kemudian memutilasi perut mereka. Hilangnya
organ-organ dalam dari tiga korban Ripper memunculkan dugaan bahwa pelaku
memiliki pengetahuan anatomi atau bedah. Desas-desus yang
menyatakan bahwa pembunuhan ini saling berhubungan merebak pada bulan September
dan Oktober 1888, dan beberapa surat yang dikirimkan oleh seseorang yang
mengaku sebagai pembunuh diterima oleh media dan Scotland Yard. Surat "From Hell", yang diterima oleh George Lusk dari Komite Kewaspadaan Whitechapel, juga berisikan separo ginjal
manusia yang diawetkan, diduga ginjal tersebut merupakan milik salah satu
korban. Karena teknik pembunuhan yang luar biasa brutal, dan karena tingginya
penafsiran media terhadap misteri ini, publik semakin percaya bahwa pembunuhan
ini merupakan pembunuhan berantai tunggal yang dilakukan oleh "Jack the
Ripper".
Luasnya liputan surat
kabar terhadap misteri ini menyebabkan Ripper meraih ketenaran internasional.
Serangkaian penyelidikan mengenai pembunuhan lainnya yang dikenal sebagai Pembunuhan
White Chapel hingga
tahun 1891 tidak mampu menghubungkan peristiwa pembunuhan ini dengan pembunuhan
pada tahun 1888, namun legenda Jack the Ripper tetap dipercayai. Karena misteri
pembunuhan ini tidak pernah terungkap, legenda tersebut semakin kuat, yang
turut diiringi dengan penelitian sejarah asli, desas-desus, cerita rakyat, dan sejarah semu. Istilah "Ripperologi" diciptakan untuk menggambarkan kajian dan
analisis mengenai kasus Ripper. (sumber; http://id.wikipedia.org/wiki/Jack_the_Ripper).
1.3. Jenis-jenis Mutilasi
Dari
berbagai macam jenis mutilasi, secara umum setidaknya ada dua jenis mutilasi yaitu Defensive dan Offensive.
-
Mutilasi
defensif (Defensive Mutilation), atau disebut juga sebagai
pemotongan/pemisahan anggota badan dengan
tujuan untuk menghilangkan jejak setelah pembunuhan terjadi. Motif rasional
dari pelaku adalah untuk menghilangkan tubuh korban sebagai barang bukti atau
untuk menghalangi diidentifikasikannya potongan tubuh korban.
-
Mutilasi
ofensif (offensive mutilation), adalah suatu tindakan irasional yang
dilakukan dalam keadaan mengamuk, “frenzied state of mind”. Mutilasi
kadang dilakukan sebelum membunuh korban.
<Karger, Rand, &
Brinkman (2000)>
Namun, dewasa ini, United Nations (UN) menemukan ada
tindak mutilasi dalam keadaan hidup yang masih dilakukan sampai saat ini yaitu Female Genital Mutilation (termasuk
Suku Dani di Papua tadi).
Terdapat beberapa definisi mengenai Female
Genital Mutilation (FGM):
-
Berdasarkan WHO information fact sheet No. 241 --
June, 2000, FGM merupakan semua prosedur termasuk pengangkatan sebagian
atau seluruh bagian dari organ genital perempuan atau tindakan melukai lainnya
terhadap organ genital perempuan baik untuk alasan budaya, agama, atau alasan
lainnya yang tidak berkaitan dengan penyembuhan
-
Berdasarkan fact sheet no.23, Harmful Traditional
Practices Affecting the Health of Women and Children yang dikeluarkan oleh Office of the High Commissioner for Human
Rights, FGM adalah istilah yang dipakai mengacu pada tindakan pembedahan
untuk mengangkat sebagian atau seluruh bagian organ genital perempuan yang paling
sensitif.
-
Berdasarkan Stedman's medical Dictionary, 26th
Edition, 1995 – Mutilasi didefinisikan sebagai perusakan atau tindakan
melukai dengan mengangkat atau merusakkan bagian-bagian yang nyata terlihat
atau bagian penting dari tubuh.
Dari beberapa definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa FGM adalah
segala prosedur atau tindakan yang ditujukan untuk menghilangkan dan melukai
sebagian atau seluruh organ genital dari perempuan. Tipe-Tipe Female Genital Mutilation. Ada empat macam tipe FGM menurut fact sheet no.23,
Harmful Traditional Practices Affecting the Health of Women and Children:
-
Tipe I : Sirkumsisi (Circumcision) Menghilangkan bagian permukaan, dengan atau tanpa
diikuti pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari klitoris. Ketika
prosedur ini dilakukan terhadap bayi perempuan atau anak kecil perempuan, bisa
jadi bagian atau keseluruhan dari klitoris dan sekeliling jaringan (tissues)
akan terbuang.
-
Tipe II : Eksisi (Excission) Pengangkatan klitoris diikuti dengan pengangkatan
sebagian atau seluruh bagian dari labia minora.
-
Tipe III : Infabulasi (Infibulation) Merupakan excission yang diikuti dengan pengangkatan
labia mayora serta menempelkan kedua sisi vagina dengan jalan menjahit atau
menyatukan secara alami jaringan yang terluka dengan mempergunakan media berupa
duri, sutera, atau benang dari usus kucing. Pada infabulation akan ditinggalkan
lubang yang sangat kecil (kurang lebih sebesar kepala korek api) yang
dipergunakan untuk sekresi dan keluarnya cairan menstruasi.
-
Tipe IV : Introsisi (Introcission) Jenis FGM yang dipraktikkan oleh suku Pitta-Pitta
Aborigin di Australia, dimana pada saat seorang perempuan mencapai usia puber,
maka seluruh suku akan dikumpulkan dan seseorang yang dituakan dalam masyarakat
akan bertindak sebagai pemimpin prosedur FGM. Lubang vagina perempuan tersebut
akan diperlebar dengan jalan merobek dengan menggunakan tiga jari tangan yang
diikat dengan tali dan sisi lain dari perineum yang akan dipotong dengan
menggunakan pisau batu. Ritual ini biasanya akan diikuti dengan aktivitas
seksual secara paksa dengan beberapa lelaki muda. Selain di Australia,
introcission juga dipraktikkan di Meksiko Timur, Brazil, Peru, dan suku
Conibos. Serta sebagian dari suku Pano Indian di bagian tenggara. Pada
suku-suku tersebut operasi dilaksanakan oleh seorang perempuan yang dituakan
dengan menggunakan pisau bambu, perempuan ini akan memotong jaringan sekitar
selaput dara serta mengangkat bagian labia pada saat yang bersamaan membuka
klitoris, tumbuhan obat akan dipergunakan untuk menyembuhkan diikuti dengan
memasukkan objek berbentuk penis yang terbuat dari tanah liat.
Bab.
II
Analisa
Masalah
2.1. Dari Sudut Pandang Psikologi
Kejahatan Mutilasi adalah
jenis kejahatan yang tergolong sangat sadis, dimana pelaku kejahatan tersebut
tidak hanya membunuh atau menghilangkan nyawa orang lain melainkan ia juga
memotong-motong setiap bagian tubuh si korbannya menjadi beberapa bagian. Sebenarnya,
apakah yang mendorong seseorang untuk berbuat hal yang sadis itu? Jika kita
melihat di berbagai macam pemberitaan baik itu di TV, Radio, ataupun di surat
kabar, berbagai macam motif melatarbelakangi terjadinya peristiwa sadis
mutilasi, diantaranya; masalah dendam, masalah finansial, masalah asmara, maupun
masalah kelainan seksual.
Dari berbagai macam motif
itu, kami ingin menyoroti lebih dalam mengenai kasus mutilasi yang
dilatarbelakangi oleh motif asmara, terutama hubungan asmara dari pasangan
dengan kelainan seksual. Jika kita masih ingat mengenai kasus mutilasi yang
dilakukan oleh Very Idham Henyansyah atau yang akrab dikenal sebagai “si jagal
Jombang” dan Baekuni yang akrab dikenal dengan sebutan “si Babe”, perbuatan
yang mereka lakukan itu sangatlah menggemparkan negeri kita ini karena begitu
banyaknya korban akibat ulah sadis mereka dan terutama karena motif kelainan
seksual yang mereka alami. Dari kesaksian yang mereka berikan, mereka mempunyai
dorongan membunuh dan memutilasi korbannya karena mereka merasa cemburu dan
sakit hati karena pasangan sesama jenisnya menjalin hubungan sosial (pergaulan)
dengan orang lain, disamping karena mereka memang ingin mencoba hal baru dengan
pasangan baru yang sejenis.
Disini, kami menarik
kesimpulan bahwa kasus mutilasi dengan kelainan seksual ini sangatlah berkaitan
erat dengan teori Psikoanalisa & Psikoseksual Sigmund Freud. Dalam
Psikoanalisa Sigmund Freud dijelaskan bahwa jiwa terdiri dari 3 sistem yaitu:
id (es), superego (uber ich), dan ego (ich) – sumber;
Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi, 2009. Disini kami mencoba melihat arti dari id.
Di dalam id dikatakan
bahwa, “Id terletak dalam ketidaksadaran.
Ia merupakan tempat dari dorongan-dorongan primitif, yaitu dorongan-dorongan
yang belum dibentuk atau dipengaruhi oleh kebudayaan, yaitu dorongan untuk
hidup dan mempertahankan kehidupan (life instinct) dan dorongan untuk mati
(death instinct). Bentuk dari dorongan hidup adalah dorongan seksual atau
disebut juga libido dan bentuk dari dorongan mati adalah dorongan agresi,......
Prinsip yang dianut id adalah prinsip kesenangan (pleasure principle), yaitu
bahwa tujuan dari id adalah memuaskan semua dorongan primitif itu” – sumber; Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi.
Jadi, yang mendasari
seseorang untuk melakukan suatu aktivitas yang berkaitan dengan kehidupan
adalah karena tuntutan pemuasan diri atas berbagai macam dorongan-dorongan yang
mendasarinya, contoh; seorang yang baru keluar penjara memiliki dorongan seks
yang tinggi karena sekian lamanya mendekam di penjara, seorang pengemis mencuri
di sebuah toko makanan karena lapar yang tak tertahankan, atau seorang pemuda
yang menghamili seorang gadis setelah menonton video porno. Perilaku ini muncul
sebagai stimuli dari dorongan yang mendasarinya.
Ditambahkan lagi dengan
statement Psikoseksual Freud; “Jika anda
mengambil aktivitas seksual sebagai titik pusat perhatian, anda mungkin akan
menyatakan bahwa seksual berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan usaha
pencarian kenikmatan dari tubuh (dan tentunya pada organ-organ seksualitas)
dari lawan jenis; dalam satu kesimpulan yang paling pendek seksualitas berarti
segala sesuatu yang diarahkan pada penyatuan organ-organ genital dan aktivitas
seksual” – (sumber; a General Introduction to
Psychoanalysis ® Psikoanalisis Sigmund Freud-Ikon Teralitera Yogyakarta, 2002). Hal. 323 Paragraf ke-2 Kalimat ke-5.
Walaupun dikatakan dalam
statement itu bahwa kenikmatan seksual adalah kenikmatan dengan lawan jenis,
namun Freud menambahkannya dalam Paragraf ke-3 kalimat ke-2; “Tetapi hal ini tidak lagi memadai bagi ilmu
pengetahuan. Karena sejumlah riset yang serius (hanya mungkin dalam semangat
diri yang menggebu dan dilakukan dengan pengorbanan) telah membuka kenyataan
bahwa ada golongan manusia yang kehidupan seksualnya menyimpang secara mencolok
dari kehidupan seksual yang normal. Sekelompok manusia “sesat” ini telah
menghapuskan perbedaan antara jenis kelamin dari skema hidupnya. Bagi
orang-orang ini, hanya mereka yang memiliki jenis kelamin yang sama, yang akan
menimbulkan hasrat seksual bagi mereka, bahkan dalam suatu kasus yang ekstrem
bisa menjadi obyek kebencian yang mendalam bagi mereka yang memiliki
kecenderungan semacam ini. Karena itu, mereka tentu saja mengesampingkan semua
partisipasi mereka dalam fungsi reproduksi. Orang-orang yang memiliki
kecenderungan semacam itu disebut sebagai kelompok Homoseksual”.
2.1.1. Apakah itu
Homoseksual?
Lalu, darimanakah kelainan
seksual “Homoseksual” ini bermula dan mengakar kuat? Apakah pengaruh dari
masa-masa awal fase perkembangan anak-anak, ataukah dari masa-masa traumatis
yang pernah dialami oleh seseorang Homoseksual sedari kecil seperti kekerasan
seksual? Jawabannya adalah semua benar adanya.
Sigmund Freud kembali
memberikan statementnya dalam paragraf ke-13 Kalimat ke-8 (buku yang sama),
dikatakan; “Dengan cara ini ditemukan
bahwa semua kecenderungan untuk memiliki perilaku menyimpang memiliki akar pada
masa pertumbuhan saat kanak-kanak, bahwa anak-anak meninggalkan atau tetap
memakai, dengan berbagai tingkat yang berbeda antara masing-masing anak,
perilaku tersebut pada saat kematangan usianya; pendeknya, aspek penyimpangan
seksualitas tidak lain adalah aspek seksualitas masa kanak-kanak, yang kemudian
menjadi semakin besar dan dipisahkan dalam sejumlah komponen yang berdiri
sendiri”.
Jadi, dorongan pemuasan
libido seksualitas bagi para Homoseksual adalah dipicu dari masa perkembangan
kanak-kanak. Kami mencoba mencari-cari, jika kita kembali pada 5 fase tingkat
perkembangan seksual menurut Sigmund Freud , dimana disitu dijelaskan bahwa
setiap orang mempunyai dorongan seksual yang sudah terdapat sejak bayi
(Infantile Sexuality) dan dorongan ini akan berkembang terus menjadi dorongan
seksual pada orang dewasa, maka kita akan mendapati perkembangan Fase Phalic
(6-7 tahun), Fase Latent (7 atau 8 tahun-masa remaja), dan Fase Genital (masa
remaja). Ketiga fase ini menurut kami adalah fase yang sangat berpengaruh pada
perkembangan kelainan seksualitas seseorang sedari masa kanak-kanak. Kami
mencari-cari apakah dorongan seseorang yang Homoseksual memang sudah terdapat
pada saat dia bayi.
Teori Psikoanalisa masih tetap menonjol dalam menjelaskan baik
fungsi normal maupun abnormal si pelaku mutilasi. Disini, kami ada tiga prinsip
dasarnya yaitu :
- tindakan dan tingakah
laku orang dewasa dapat dipahami dengan melihat pada perkembangan masa
anak-anak mereka.
- tingkah laku dan
motif-motif alam bawah sadarnya adalah reaksi saling jalin-menjalin dan interaksi
dari reaksi itu mesti diuraikan bila kita ingin mengerti kejahtan ini.
- Kejahatan pada dasarnya merupakan
representasi dari konflik psikologis masa lalu si pelaku.
Disini, kami mengambil sebuah
contoh yang sederhana yang kami coba buat sendiri, berbunyi demikian; “ada
seorang anak yang pada saat usia 5 tahun (Fase Phallic) yang mengalami
pelecehan seksual dari seorang gay. Namun anak ini tidak mengetahui apakah itu
pelecehan seksual (karena masih kecil dan belum tahu apa-apa). Anak ini
diiming-imingi uang jajan atau permen lalu si pelaku akan melakukan tindak pelecehan
seksual dengan mis; meraba-raba alat kemaluan, oralisasi alat kemaluan,
menciumi, atau bahkan sodomi berkali-kali. Seiring waktu, si anak ini akan
menolak tawaran itu lagi bukan karena ia sudah tahu dan mengerti apa itu
pelecehan seksual, tetapi karena si anak ini mengalami sakit pada daerah
analnya (karena sodomi). Kemudian pada saat proses pertumbuhannya, kejadian
yang ia alami pada masa kecilnya itu akan tersimpan di dalam alam bawah
sadarnya. Seiring berjalannya waktu, orientasi seksual si anak ini berubah
drastis, dia mulai menyukai sesama jenis dan mudah merasa cemburu apabila orang
yang ia sukai (sesama jenis) sangat dekat dengan orang lain”.
Dalam contoh sederhana ini
kami melihat bahwa kemungkinan besar seorang pelaku mutilasi karena penyimpangan
seksual, mengalami traumatis pada fase Phallic saat kanak-kanak, sehingga
mempengaruhi fase Latency dan Genitalnya. Namun, tidak banyak bukti yang kami
dapatkan untuk menunjang pendapat kami yang menyatakan bahwa jika seorang anak
pada fase Phallic mengalami pelecehan seksual akan berimbas pada perkembangan
orientasi seksualnya yakni menjadi gay di kemudian hari.
Namun, disini kami mendapatkan suatu bukti dari kasus mutilasi
dengan motif kelainan seksual pada dua orang pelaku sadis mutilasi yakni “Ryan
– Jagal Jombang” dan “Babe – Baekuni”. Kedua orang ini mengalami perubahan
perilaku seksual baik yang disebabkan karena perubahan perilaku maupun karena
rasa traumatis. Demikian riwayatnya;
“Ryan (jagal Jombang) adalah bungsu dari dua bersaudara. Kakaknya Mulyo
Wasis (44) adalah saudara satu ibu namun lain ayah. Sejak kecil Ryan lebih
sering berpisah dengan kedua orangtuanya dan tinggal di pesantren. Ayah Ryan, Ahmad Maskur, pensiunan satpam sebuah pabrik gula dan Kasiatun, istrinya, lebih suka
tinggal di rumah Mulyo Wasis. Perilaku Ryan banyak berubah ketika ia duduk di bangku SMP. Dia lebih banyak menekuni kegiatan perempuan seperti menari dan berdandan. Di sekolah Ryan dikenal lebih dekat dan lebih banyak berteman dengan perempuan, dia juga banyak
terlibat kegiatan kesenian, terutama menari. Namun demikian
Ryan dikenal cerdas, cekatan, dan pandai bergaul”. (sumber; http://id.wikipedia.org/wiki/Very_Idham_Henyansyah).
“Namanya singkat. Baekuni. Lahir di Magelang, Jawa Tengah,
pria tinggi kekar ini membuat kita semua merinding sepekan terakhir. Dia
mengaku telah membunuh tujuh anak jalanan. Semuanya berumur di bawah 12 tahun. Dan ini yang bikin seram, tiga
diantaranya dimutilasi pakai golok. Mereka adalah anak jalan yang berada di
daerah Jakarta Timur. Sejumlah kabar menyebutkan bahwa lantaran takut
mendengar kisah si Baekuni ini, kawasan Terminal Pulogadung kini sepi dari
anak-anak jalanan. Mereka ngeri membayangkan keganasan pria yang akrab disapa
babe itu. Tapi siapa si babe ini? Tak
banyak yang tahu. Informasi tentang jati dirinya dan riwayat masa kecilnya cuma
sedikit yang terkuak. Sarlito Wirawan, Psikolog Universitas Indonesia, yang
bertemu dengan babe di rumah tahanan Polda Metro Jaya mengisahkan kepada
wartawan ihlwal jati diri si Baekuni ini. Babe
lahir di Magelang. Ayahnya seorang petani. Masa kecilnya memang tidak bahagia.
Selalu diolok-olok teman-teman sekolah, lantaran tidak pernah naik kelas.
Karena tidak naik kelas itu, Baekuni "tamat" di kelas 3 SD. Lalu dia kabur sendirian ke Jakarta, pada usia yang
masih sangat belia untuk merantau, 12 tahun. Di ibukota dia menggelandang di
Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Untuk makan-minum sehari-hari dia mencari uang
dengan mengamen. Anak belia terjun ke
dunia yang kelam. Baekuni mengalami hampir semua kekejaman jalanan. Dia juga pernah disodomi. "Waktu itu
dia menolak tapi karena dipaksa tidak bisa melawan," ujar Sarlito,
melalui surat elektronik yang diterima VIVAnews.com, Kamis 14 Januari 2010.
Setelah itu, Babe bertemu seseorang bernama Cuk
Saputra, dia kemudian dibawa ke Kuningan, Jawa Barat dan diminta untuk
memelihara kerbau. Di Kuningan itulah dia bersua dengan jodohnya. Seorang
wanita yang sangat dicintainya. Dia menikah umur 21 tahun. Tapi jiwa dan raganya dipenjara trauma. Dan mohon maaf, si
Baekuni mengaku tidak mampu
berhubungan layaknya suami istri hingga wanita yang dicintainya itu
meninggal dunia. (sumber;
http://iterang.blogspot.com/2011/01/inilah-kisah-hidup-babe-sang-pembunuh.html).
Jadi disini kami mulai
mengambil kesimpulan bahwa seorang anak yang mengalami pelecehan seksual pada
usia pubertas (kira-kira anak SMP) yakni usia 11 tahun ke atas (dimulai pada
fase Latency dalam teori Psikoseksual), maupun seorang anak yang mengalami
perubahan orientasi seksual pada umur itu kemungkinan besar akan menjadi
seseorang yang mengalami penyimpangan seksual (gay) nantinya. Kemampuan
reproduksi layaknya manusia yang normal bersama pasangan lawan jenis akan sulit
ia praktekkan dan tentunya ia tidak akan pernah mendapatkan kepuasan seksual
dari situ. Kemungkinan besar, sepertinya jika ada tindakan seorang Homoseksual
yang menikahi lawan jenis, itu pasti adalah tindakan penyamaran atau kamuflase
agar ia tidak diberikan stereotype seorang Homoseks oleh lingkungan sekitarnya
(apalagi dengan kebudayaan bangsa kita yang mengutuk keras segala tindakan
hubungan sesama jenis).
Sigmund Freud pernah
mengatakan bahwa; “Setiap orang mempunyai
sisi Biseksual dalam dirinya dan hal itu sudah tertanam semenjak kecil. Seiring
berjalannya waktu, sisi Biseksual akan digantikan oleh sisi Maskulin dan
Feminin bagi orang yang mengalami pertumbuhan seksual yang normal, sementara
bagi individu yang mengalami penyimpangan seksual, sisi Biseksualnya akan tetap
bertahan dan kemudian akan berkembang nyata dalam kehidupan Biseksual dan Heteroseksual”
– ditambahkan lagi bahwa; “Perbedaan
antara Maskulin dan Feminin belumlah mempunyai peranan, sebaliknya terdapat
perbedaan antara aktif dan pasif yang dapat disebut awal dari polaritas seksual
yang juga akan berkaitan erat nantinya”. (sumber; a General Introduction to Psychoanalysis ®
Psikoanalisis Sigmund Freud-Ikon Teralitera Yogyakarta, 2002), Hal. 356.
Motif utama pengidap
kelainan seksual ini memutilasi korbannya adalah karena mereka ingin supaya mereka
akan merasa terpuaskan apabila mereka melakukan tindak mutilasi terhadap
korbannya, dari dalam dirinya mereka mempunyai dorongan Id (Psikoanalisa Sigmund Freud) dimana dorongan itu menggebu-gebu
dari dalam dirinya untuk melakukan sesuatu yang membuat dia merasa terpuaskan. Disamping
itu pula, ada dorongan-dorongan Psikopat dari si pelaku untuk melakukan
tindakan Mutilasi dengan harapan menghilangkan jejak korbannya. Namun disini
kami membedakan antara seorang Psikopat dan seorang yang mengalami Penyimpangan
Seksual dalam kasus kejahatan Mutilasi. Walaupun ada sedikit kemiripan dalam
tindakannya, namun sangat sulit membedakan mutilasi karena aspek Psikopat atau
karena aspek Kelainan Seksual. Sebuah kalimat dari Freud menyatakan; “Sebagian tertentu dari rangsangan-komponen
insting seksual mempunyai satu objek sejak awal sekali dan terus mempertahankannya;
misalnya rangsangan untuk menguasai (sadisme), untuk menatap
(Skoptofilia), dan rasa ingin tahu”. (sumber; a General Introduction to Psychoanalysis ®
Psikoanalisis Sigmund Freud-Ikon Teralitera Yogyakarta, 2002), Hal. 357.
2.1.2. Perbedaan
Psikopat dan Kelainan Seksual
Menurut Psikolog Sawitri Supardi Sadarjoen, S.Psi, M.Si,
dalam artikelnya di http://nasional.kompas.com/read/2008/08/24/09254122/Psikopat.dan/atau.Homoseksual,
Seorang Psikopat mempunyai berbagai ciri yaitu:
-
Hanya
mampu memahami etika dan norma yang berlaku dalam tataran verbal, tetapi tidak
mampu menerapkannya dalam perilaku karena perilaku seorang psikopat didominasi
impuls yang muncul sesaat. Maunya hidup nikmat tanpa kerja dan menginginkan
segala sesuatu secara instan. Untuk itu segala cara dihalalkan. Bagi
psikopat yang agresif, kalau perlu membunuh pun tidak masalah baginya, asalkan
keinginan hidup nikmatnya tercapai segera.
-
Biasanya
ia adalah seorang yang cerdas, luas dalam pergaulan, dan memiliki rasa humor
yang baik sehingga lingkungan mudah tertarik kepadanya. Selain itu, kemampuan
relasinya pun baik.
-
Tujuan
hidup adalah melulu ditandai oleh kenikmatan saat ini, jadi sama sekali tidak
mempertimbangkan hari esok. Falsafah hidupnya adalah bagaimana nanti, bukan
nanti bagaimana.
-
Pada
awalnya orang psikopat adalah pribadi yang sangat menarik sehingga orang cepat
suka kepadanya, dengan demikian orang yang termanipulasi pun pada awalnya
sering kurang menyadari.
-
Kecuali
itu, dengan cepat pula, ia mampu melakukan rasionalisasi demi upaya pembenaran
dirinya dan dengan secara meyakinkan lingkungan ia melemparkan kesalahan kepada
orang lain.
-
Seburuk
apa pun perilakunya, tidak akan mengubah ekspresi wajahnya.
-
Hukuman
apa pun yang diberlakukan tidak pernah membuatnya jera sehingga tanpa rasa
segan dia akan mengulang perilaku buruknya di kemudian hari.
Sementara itu seorang
yang mengidap kelainan seksual seperti Homoseksual mempunyai ciri:
-
Homoseksual
Eksklusif, yaitu yang benar-benar tidak mampu mengendalikan ketertarikan
Erotik-Seksual terhadap sesama jenis kelamin.
-
Homoseksual
Fakultatif, yaitu yang menjadi Homoseksual oleh keterbatasan yang amat sangat
akan kehadiran lawan jenis di tempat di mana ia berada, seperti di penjara
dalam waktu lama. → Kesimpulan kami, jadi seseorang yang lama mendekam di
penjara akan menjadi seorang Homoseks karena tidak ada seorang lawan jenis
sebagai pemuas nafsu seksnya, dengan kata lain terpaksa.
Jadi,
didalam definisi Homoseksual sendiri, juga dibedakan menjadi dua garis besar
ciri Homoseks. Disini, tentu saja kami mempercayai bahwa Homoseks yang
melakukan tindak sadis mutilasi adalah Homoseks Eksklusif. Di AS sendiri, orang
dengan kelainan Homoseks atau Lesbian malahan dikatakan sebagai dampak karena
ada dari kedua orangtuanya yang memang Gay atau karena mereka diangkat anak
(diadopsi) oleh sepasang Gay atau Lesbian.
American Psychological Association (APA), American
Psychiatric Association, dan National
Association of Social Workers
pada tahun 2006 menyatakan:
“Saat ini, tidak ada kesepakatan ilmiah tentang faktor-faktor yang
menyebabkan individu menjadi heteroseksual, homoseksual, atau biseksual
-termasuk kemungkinan dampak biologis, psikologis, atau sosial orientasi
seksual orang tua. Namun, bukti yang tersedia menunjukkan bahwa sebagian
besar lesbian dan gay dewasa dibesarkan oleh orangtua heteroseksual dan
sebagian besar anak-anak yang dibesarkan oleh orangtua lesbian dan gay tumbuh
menjadi heteroseksual”- APA (American Psychological Association, 2006.
(sumber;
http://id.wikipedia.org/wiki/Homoseksualitas#Percintaan_dan_hubungan_sesama_jenis).
|
TEMPO.CO, Depok - Terpidana mati kasus pembunuhan dan
mutilasi, Very Idham Henyansyah alias Ryan, mengakui bahwa dia seorang
psikopat. Ryan mengungkapkan hal itu seusai menjalani sidang peninjauan kembali
kasusnya di Pengadilan Negeri Depok, Kamis, 22 September 2011. "Saya baru
tahu ciri-ciri psikopat. Dari yang dipaparkan penasihat hukum tentang ciri-ciri
psikopat, 100 persen semuanya ada dalam diri saya," kata Ryan. Dia
berharap persidangan yang dijalaninya saat ini segera selesai. "Saya sudah
capek, semoga hasil sidang PK ini membawa perubahan keputusan hukum untuk
saya," ujarnya. Ryan divonis hukuman
mati setelah terbukti membunuh Heri Santoso di apartemen milik Noval (teman
Ryan) di Margonda Residence, Kota Depok, pada 2008. Sebelumnya Ryan sempat
mengajukan kasasi, tapi ditolak oleh Mahkamah Agung. Setelah itu penasihat
hukum mengajukan PK. Persidangan akan
dilanjutkan pada Kamis, 29 September 2011. Saat ini Ryan dititpkan di LP Pondok
Rajeg, Cibinong, Bogor. "Saya ingin cepat kembali ke Cirebon," kata
Ryan. (sumber; http://www.tempo.co/read/news/2011/09/22/057357708/Ryan-Jagal-Mengaku-Psikopat).
Pada
contoh informasi berita diatas, benar-benar membuktikan bahwa seorang pembunuh
dan pelaku mutilasi macam Ryan Jombang pun tidak mampu membedakan apakah dia
seorang pembunuh dengan latar belakang kelainan seksual ataukah karena dia
seorang Psikopat, karena berbagai kemiripan dan kesamaan yang ada pada dua
aspek itu, sehingga dia kebingungan dan mengaku-ngaku sebagai seorang Psikopat.
Lalu kami pun
bertanya-tanya apakah seorang dengan latar belakang Psikopat punya kelainan
seksua seperti Homoseksual? Apakah Homoseksual adalah psikopat juga? Kami
menarik kesimpulan bahwa seorang dengan latar belakang Psikopat bisa saja
adalah seorang Homoseksual, tapi seorang Homoseksual belum tentu dia adalah
seorang Psikopat juga. Alasan kami karena perkembangan kepribadian perilaku Psikopat
pada seseorang bisa saja diikuti dengan perkembangan disfungsi identitas seksualnya
sehingga dia menjadi Psikopat yang Homoseksual.
Seorang Psikopat adalah
seorang yang munafik (serigala berbulu domba) dan pandai dalam menipu
korbannya. Yang namanya Psikopat, sama sekali tidak ada rasa penyesalan dalam
membunuh korbannya karena disitulah letak klimaks kepuasannya, sementara bagi
pelaku dengan kelainan seksual, biasanya mereka akan menyesal telah membunuh
korbannya dan akan pasrah dengan hukuman yang diterimanya. Contoh sederhananya;
ada seorang anak namanya si Pandu adalah seseorang dengan pertumbuhan yang
abnormal sehingga dia menjadi seorang pribadi yang memiliki akar Psikopat, dan
kebetulan diikuti pula dengan penyimpangan seksualnya (Homo) karena alasan lain,
jadi dia mendapat kenikmatan seksualnya dengan Sadism (melukai atau bahkan
membunuh korban demi pemuasan seksualnya). Lalu ada lagi yang namanya si Rheza yang adalah seorang dengan kelainan seksual (Homo),
namun tidak mempunyai jiwa Psikopat sama sekali, jadi dia hanya menyukai sesama
jenis dan mendapat kenikmatan klimaks seks dengan sodomi.
“Individu-individu dengan orientasi
homoseksual dapat mengekspresikan seksualitasnya dalam berbagai cara, dan dapat
atau dapat tidak muncul dalam perilaku mereka. Beberapa memiliki
hubungan seksual dengan individu-individu dengan identitas gender sama, lain
gender, biseksual atau dapat juga berselibat. Penelitian menunjukkan banyak pasangan lesbian dan gay yang menginginkan,
dan berhasil dalam memiliki komitmen dan hubungan yang bertahan lama. Sebagai
contoh, data survei menunjukkan bahwa antara 40% dan 60% pria gay dan antara
45% dan 80% dari lesbian saat ini terlibat dalam hubungan percintaan. Data
survei juga menunjukkan bahwa antara 18% dan 28% dari pasangan gay dan antara
8% dan 21% dari pasangan lesbian di AS telah hidup bersama selama sepuluh tahun
atau lebih. Sejumlah penelitian telah mengungkapkan bahwa pasangan
homoseksual dan heteroseksual setara satu sama lain dalam ukuran kepuasan dan
komitmen dalam hubungan percintaan, bahwa usia dan gender lebih
dapat diandalkan sebagai alat ukur kepuasan dan komitmen hubungan percintaan,
dan bahwa individu heteroseksual atau homoseksual memiliki harapan dan
impian hubungan percintaan yang sebanding”.
Individu-individu gay, lesbian, dan biseksual dapat hidup bahagia dan
memiliki hubungan dan keluarga yang stabil dan berkomitmen, setara dengan
hubungan heteroseksual dalam pokok-pokok penting.
(sumber; APA <American Psychological
Association>, 2005c; Kurdek, 2001, 2003, 2004; ® Peplau & Fingerhut,
2007) .
Dari
pernyataan artikel diatas, kami mengambil kesimpulan bahwa tingkat kecemburuan
kaum Gay atau Homoseks sangatlah besar, dan tentunya hal inilah yang mendorong
seseorang dengan kelainan seksual ini untuk membunuh pasangannya. Hal ini
dikarenakan dalam prinsip hidup seorang Gay, penuh dengan komitmen yang teguh
kepada pasangan sesama jenisnya. Komitmen yang mereka miliki ini sangatlah peka
dan berbeda dalam konteks komitmen hubungan yang normal antara laki-laki dan
perempuan. Ikatan komitmen ini mencakup kasih sayang fisik non-seksual antara
pasangan sesama jenisnya, tujuan dan nilai-nilai hidup bersama, sikap saling
mendukung, dan komitmen berkelanjutan dimana semuanya ini benar-benar seperti
kehidupan dalam komitmen berumah tangga. Kasus-kasus mutilasi karena latar belakang kelainan seksual
yang sering kita dengar terutama karena adanya rasa cemburu yang kuat (seperti
kasus Ryan dan Babe). Mereka sangat tidak bisa menerima apabila pasangan sesama
jenisnya itu bergaul dengan orang lain dengan lebih intens (dekat).
Dijelaskan
dalam sebuah artikel yang mendukung; “Kepala
Satuan Kejahatan dengan Kekerasan, Ajun Komisaris Besar Fadhil Imran
menambahkan, Kamis (16/7) siang, korban sekurangnya ditikam dalam 10 kali
tikaman. Korban tewas Heri Santoso (40) misalnya, ia ditikam tersangka Ryan
(Verry Idham Henyaksyah, 30) dengan sebelas kali tikaman. Juga pelaku dewasa
dalam kasus sodomi anak-anak di bawah lima tahun yang pernah saya tangani.
Tersangka, tega menikam korbannya yang masih kecil dengan 10 kali tikaman, hanya
karena si anak yang sudah lama disodomi, hari itu menolak disodomi, papar
Fadhil. Pelaku seolah ingin menunjukkan kepada orang lain bahwa ia
benar-benar marah, lanjutnya. Menurut Fadhil, dalam kasus pembunuhan yang
dilakukan masyarakat heteroseksual, pelaku cukup menikam korban sekali dua kali
saja, tanpa atau dengan mutilasi”. (sumber; http://hizbut-tahrir.or.id/2008/07/23/kasus-mutilasi-pelaku-homoseksual).
Prof. Dr. Marjono Reksodipuro, mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia
(UI), yang dihubungi Kamis (17/7) mengatakan, identifikasi kasus dan pelaku
yang disampaikan Carlo dan Fadhil belum menunjukkan kaum homoseksual lebih
kejam dari masyarakat yang heteroseksual. Terkesan menjadi lebih kejam karena
umumnya, kalangan homoseks meledak dalam basis crime of passion dengan latar
belakang yang sama, soal pasangan seks.
Marjono mengatakan, basis kejahatan masyarakat
heteroseksual lebih beragam dan latar belakang atau motifnya pun
bermacam-macam. Itu sebabnya, prosentase rangkaian kejahatan keji yang
dilakukan masyarakat heteroseksal, lebih kecil berbanding total kejahatan yang
mereka lakukan.
Kejahatan homoseks yang muncul ke publik hanya rangkaian kejahatan keji, yang nyaris melulu menyangkut pasangan seks. Timbul kemudian citra, kaum homoseks itu umumnya keji.
Kejahatan homoseks yang muncul ke publik hanya rangkaian kejahatan keji, yang nyaris melulu menyangkut pasangan seks. Timbul kemudian citra, kaum homoseks itu umumnya keji.
Padahal, kekejian itu hanya sebatas menyangkut
persoalan pasangan seks, kilah Marjono. Menurut dia, Crime of passion adalah
ledakan kemarahan yang membabi buta karena merasa terhina, dan cemburu, yang
membuat pelaku membunuh atau menganiaya berat. Biasanya berlangsung secara
spontan, tidak terorganisir dan terencana. (sumber; http://hizbut-tahrir.or.id/2008/07/23/kasus-mutilasi-pelaku-homoseksual).
Jadi, orang
yang Gay atau Homoseksual sebenarnya juga menginginkan kebahagiaan seperti
layaknya sebuah kehidupan rumah tangga yang normal. Mereka juga ingin dianggap
layaknya manusia biasa. Namun, kebudayaan negara kita yang sama sekali menolak
hal-hal demikian memaksa mereka untuk mempraktekkan kehidupan Homoseks dengan
sembunyi-sembunyi. Otomatis dalam hal ini, pasangannya juga dapat berasal dari
sesama Homoseks atau dari orang normal yang biasanya memanfaatkan si Homoseks
ini untuk mendapatkan keuntungan darinya, mis; harta, uang, dsb. Rata-rata
Homoseksual yang melakukan tindakan pembunuhan dan mutilasi, akan melakukan hal
ini apabila mereka dikhianati dalam hal percintaan. Seorang Homoseksual tidak
pernah mengukur ataupun menilai sejauh mana ia mengeluarkan materi untuk
pasangannya selama pasangannya tersebut setia kepadanya. Jadi, rasa senang dan
puas yang mereka dapatkan saat membunuh dan memutilasi pasangan Homoseksualnya tersebut
menegaskan pada diri si pelaku bahwa korban adalah benar-benar 100% miliknya
dengan membunuhnya dan memutilasinya, kepuasan dan klimaks terletak pada proses
ini. Seperti yang sudah dikatakan Freud bahwa; “Sebagian
tertentu dari rangsangan-komponen insting seksual mempunyai satu objek sejak
awal sekali dan terus mempertahankannya; misalnya rangsangan untuk menguasai (Sadisme), untuk menatap
(Skoptofilia), dan rasa ingin tahu”. (sumber; a General Introduction to Psychoanalysis ®
Psikoanalisis Sigmund Freud-Ikon Teralitera Yogyakarta, 2002), Hal. 357. Kami
melihat bukti yang menunjang, dimana seorang Homoseksual benar-benar
menginginkan kehidupan sejati bersama pasangannya, disini dijelaskan dalam
artikel yang mengatakan; - “Kesimpulannya, para pakar kejiwaan dan peneliti telah lama
mengakui bahwa menjadi Homoseksual tidak menimbulkan hambatan untuk menjalani
hidup yang bahagia, sehat, dan produktif, dan bahwa sebagian besar kalangan gay
dan lesbian bekerja dengan baik di berbagai lembaga sosial dan hubungan
interpersonal." (sumber; http://id.wikipedia.org/wiki/Homoseksualitas#Percintaan_dan_hubungan_sesama_jenis.)
2.2. Dari Sudut Pandang Para Psikolog dan Kriminolog
Menurut pandangan
salah seorang Kriminolog, Reza Indragiri
mengatakan bahwa faktor pelaku memutilasi korbannya merupakan tindakan untuk
menghilangkan jejak. "Kalau instrumental, dia mencabut nyawa korban.
Tapi mutilasi punya tujuan tertentu untuk menghilangkan barang bukti. Tidak ada
sangkut paut dengan perasaan amarah," ujar Reza saat dihubungi, Rabu
(6/03). Selain itu Reza mengungkapkan
bahwa tindakan mutilasi tersebut merupakan bentuk ekspresi kemarahan pelaku.
"Si pelaku tidak cukup membunuh korban. Untuk meluapkan ekspresi
kemarahannya, tapi juga melakukan cederaan parah," lanjutnya.
Ia menjelaskan
terkait potongan yang ditemukan akan memberikan gambaran pelaku melakukan mutilasi
itu. "Untuk alasan pelaku memutilasi korban bisa dilihat dari potongan
tubuh, potongan itu akan memberikan gambaran pelaku melakukan mutilasi. Pada
akhirnya dia merasakan emosional yang dahsyat," jelasnya. Selain
itu, dalam kasus mutilasi signifikan asumsi awal dendam, sakit hati, tapi Reza
menekankan kalau proses pembelajaran, ini bukan emosi. Tapi ini merupakan
bentuk pembelajaran pelaku yang tak sempurna.
"Ada proses
pembelajaran yang tak sempurna. Karena ada muatan kecemasan tidak sempurna
akhirnya pelaku berpikir untuk membuang tidak sampai ke titik tujuan yang
diinginkan sebelumnya, biasanya idealnya pelaku membuang di tempat sampah. Tapi
karena cemas dia buang ke titik pertengahan," jelasnya. Dalam
setiap kasus mutilasi, Reza mengkhawatirkan terkait petugas Kepolisian yang
kurang cepat dalam setiap pemecahan kasus mutilasi. "Dalam kasus mutilasi
yang saya khawatir track record polisi memecahkan kasus mutilasi nggak begitu
baik. Dari yang sudah-sudah tidak ada peristiwa tunggal, ada terjadi lagi. Diduga
akan ada lagi korban. Yang saya khawatirkan, pelaku tampaknya orang itu-itu
lagi. Dia mengalami peningkatan kecanggihan pelaku. Modusnya dia belajar,"
paparnya.
Ia juga menerangkan
secara statistik kasus pembunuhan banyak. Tapi mutilasi tak banyak. "Kalau
kesimpulan cenderungan orang dekat agak rapuh, karena datanya sedikit. Kecuali
kekerasan seksual pada anak," tukas Reza Indragiri. (K-4/Shilma). (sumber;
http://oktaviack.blogspot.com/2013/03/kriminolog-mutilasi-bentuk-ekspresi.html).
Pembagian peran ini
kata Adrianus dan Sarlito, menentukan eksistensi setiap homoseks. Jika salah
seorang dari pasangan homoseks hilang (lari, selingkuh, kembali menjadi pria
sesuai fungsi tubuhnya, atau meninggal), maka homoseks lainnya mengalami krisis
peran, krisis eksistensi. Itulah yang membuat tersangka Ryan memutilasi Heri.
Ryan tidak ragu menghabisi Heri karena Ryan merasa perannya sebagai perempuan
terancam oleh ucapan Heri. (sumber; http://hizbut-tahrir.or.id/2008/07/23/kasus-mutilasi-pelaku-homoseksual).
Kaum lesbian umumnya, lanjut
Ronny, berbanding sebaliknya. Mereka lebih sebagai pasangan yang tertutup,
lebih mengutamakan kepuasan seksual ketimbang kesetiaan, dan lebih mudah
kembali menjadi perempuan sesuai organ tubuhnya, atau kembali lagi menjadi
lesbian ketika menemukan pasangan yang cocok. Karena sifat komunitasnya itu, kaum lesbian lebih mudah menjadi
biseks ketimbang kaum homoseks. Kaum homoseks yang menikah lain jenis, ia
menikah hanya sebagai kedok saja. Dia tetap homoseks dan bukan biseks, tegas
Ronny. (Kompas,Selasa, 22 Juli 2008 | 06:19 WIB). (sumber; http://hizbut-tahrir.or.id/2008/07/23/kasus-mutilasi-pelaku-homoseksual).
Bab. III
Dampak Kasus Mutilasi
Dengan Latar Belakang Kelainan Seksual Pada Masyarakat
3.1. Dampak Umum
Jika ada suatu masalah
atau kasus apalagi kasus pembunuhan dalam bentuk yang sadis, maka akan timbul
berbagai respon dari masyarakat, baik itu yang memandang dari segi positif
ataupun negatif. Bahkan ada suatu respon dari masyarakat yang memandang bahwa
tindak kejahatan mutilasi adalah suatu tindak kejahatan yang biasa-biasa saja.
Mengenai kasus mutilasi
dengan latar belakang kelainan seksual (Homoseksual), tentunya pendapat
masyarakat akan beragam. Kami mengambil contoh apabila orang dari daerah (dari
desa atau kota kecil) selain kota Besar (mis; DKI Jakarta, Bandung), mereka
akan menilai bahwa pembunuhan dan mutilasi itu adalah tindakan yang sadis dan
kejam, tidak beradab dan tidak berperikemanusiaan. Mereka akan mulai merasa
marah atau emosi dengan pelaku pembunuhan mutilasi itu dan akan mengatakan jika
pelaku sadis seperti itu pantasnya dihukum mati.
Namun, orang-orang Jakarta
akan memberi pendapat ringan, menganggap sepele hal itu dan menilai peistiwa
itu sebagai hal yang biasa saja karena begitu banyaknya kasus dan berita
pembunuhan dengan mutilasi sehingga mereka akan menganggap hal itu adalah hal
biasa saja. Biasanya mereka akan menilai yang pertama sekali, bahwa
pelaku melakukan hal itu karena jengkel atau karena mempunyai dendam kesumat.
Kesan masyarakat yang terburu-buru ini kadang akan berubah apabila mereka
mengetahui latar belakang dari kasus mutilasi tersebut, apalagi jika kasusnya
adalah karena kelainan seksual.
Bahayanya adalah,
masyarakat akan terus direcoki dengan pemberitaan kasus mutilasi ini sehingga
menganggap hal yang melampaui norma kehidupan sebagai sesuatu yang benar-benar
biasa saja. Mungkin saja dalam suatu pertikaian kecil antara seseorang dan
orang lainnya akan berujung pada tindak pembunuhan dan mutilasi. Karena kalau
kami melihat selama ini, masyarakat itu sukanya tiru-tiru, apalagi dari
tayangan TV.
Contohnya; jika ada trend
fashion baju ala Korea pasti akan ditiru, anak-anak kecil yang meniru gaya dan pertarungan
duel ala Smack Down tokoh idolanya seperti John Cenna dan Rey Mysterio (karena
adegan pertarungan sadis) sehingga kamudian banyak korban meninggal berjatuhan,
trend operasi plastik dan Botox untuk kecantikan wajah atau trend operasi
payudara menggunakan Silicon yang banyak juga mengalami kegagalan.
Bukan hanya masyarakat,
dari pihak TV juga kadangkala suka meniru-niru program tayangan dari luar
negeri, misalnya; karena ada American Idol dan American Got’s Talent, maka
mulailah banyak juga program pencarian bakat yang menjiplak dari luar negeri
itu seperti Akademi Fantasi Indosiar, Indonesia Mencari Bakat, Who Want’s To Be
A Milionaire, dsb. Seperti yang dikatakan oleh Sosiolog asal Perancis Gabriel
Tarde (1843-1904) - ”Society is imitation”, artinya masyarakat
selalu dalam proses meniru (imitasi). Ketika orang tiap hari dicekoki
nilai-nilai keras dan kasar, masyarakat pada akhirnya akan meniru. Oleh karena
itu, hal ini mempunyai dampak yang negatif, mengingat media massa yang
menampilkan kejahatan mutilasi cenderung malahan kian menginspirasi orang dalam
melakukan kejahatan.
Jadinya, media massa malah
menjadi sarana pelajaran bagi seorang penjahat atau pelaku pembunuhan untuk
menerapkan modus-modus baru. Ambillah contoh; modus baru dimana penjahat membius
korbannya dengan pura-pura menawarkan air mineral yang sudah disuntik dengan
Chlorofil (obat bius). Kejadian ini terjadi karena di TV disiarkan mengenai
pemakaian illegal bahaya obat bius.
3.2. Dampak Khusus
Dengan melihat berbagai macam dampak umum pemberitaan kasus
pembunuhan mutilasi yang kian marak, maka kami mempunyai pandangan, kemungkinan
besar masyarakat yang mempunyai perselisihan atau bahkan mungkin mempunyai
kelainan Psikopat bukan tidak mungkin akan meniru tindakan ini dan mempelajari
proses dari tindakan ini. Alasan pertama yang mendukung pandangan kami adalah,
karena calon pelaku akan semakin cerdas dan mulai menangkap berbagai macam
keuntungan dari tindak kejahatan mutilasi yakni menghilangkan jejak dan membuat
Polisi bingung untuk mengidentifikasi korban. Kedua, calon pelaku mutilasi
memudahkan dirinya untuk lolos menjadi tersangka karena seolah-olah jalinan
antara pelaku dan korban telah terputus dengan tindak mutilasi ini, Karena si
pelaku akan berpikir bahwa dengan memutilasi korbannya maka dia telah
menuntaskan kejahatan yang dilakukannya menjadi hilang tak berbekas – tidak
adanya rasa bersalah → menyulitkan proses investigasi (disamping karena motif
kelainan seksual).
3.3. Tanggapan Media
Dalam hal ini, kami menangkap ada kesan bahwa media pun
dipersalahkan karena menampilkan rekonstruksi pembunuhan dan mutilasi pada
berita di TV. Maka disini, media pun memberikan tanggapannya terhadap stigma
miring ini. Dalam artikel sebuah koran di Jakarta dikatakan;
“.... Kemiskinan dan
peran media massa dituduh sebagai biang maraknya aksi-aksi kejahatan yang
terjadi di Ibu Kota, akhir-akhir ini. Dengan bertubi-tubinya menampilkan
kejahatan, akhirnya masyarakat mudah meniru dan kejahatan sudah menjadi budaya. Demikian
yang terungkap dalam wawancara secara terpisah dengan Gubernur DKI Jakarta Joko
Widodo, Dosen Kriminologi UI Adrianus Meliala, dan Pakar Kriminologi Erlangga
Masdiana secara terpisah di Jakarta, Minggu (10/3)
Menyeruaknya aksi kejahatan, di mata Gubernur DKI
Jakarta, Joko Widodo, karena kemiskinan. "Ya kalau kita lihat memang di
Jaktim penduduknya memang paling banyak, paling padat, dan kemiskinan di sana
juga paling tinggi," tegas Jokowi, beberapa waktu lalu.
Selain itu, kata Erlangga, tingkat seriusnya aksi
kejahatan tidak terlepas dari peran media. Media justru berperan menyuburkan
budaya kekerasan. Masyarakat malah menjadi akrab dengan kejahatan, terbiasa
dengan kejahatan, karena suguhan media yang membanjir. "Media seharusnya
jangan hanya berhenti pada melaporkan peristiwa, jangan cuma ingin menampilkan
histeria saja," tutur dia. Menurut Erlangga, media mengemban
tanggung jawab sosial, yakni fungsi edukasi, untuk turut mencegah terjadinya
kejahatan, bukan malah menginspirasi orang untuk melakukan kejahatan. Banyaknya
pembunuhan dengan mutilasi bisa menjadi indikasi banyaknya imitasi atau
peniruan dalam melakukan aksi kriminal.
Hal sedana dikatakan dosen Kriminologi UI,
Adrianus Meliala. Menurut Adrianus, seseorang bisa melakukan tindakan sadis
karena mempelajari tindakan itu setelah melihat orang lain melakukannya. Media
sangat berpotensi sebagai sarana imitasi tindakan-tindakan sadis. "Itu
karena diberitakan saja, kalau zaman dulu kan tidak." Meski
demikian, kejahatan, menurut Erlangga, merupakan suatu hal yang biasa dalam
masyarakat. Tetapi, di satu sisi, kejahatan juga membuat masyarakat bisa lebih
waspada dan berhati-hati.
Namun, kata Erlangga, aksi kejahatan tersebut
tidak bisa dibiarkan, tetapi yang harus dipikirkan adalah bagaimana
mencegahnya. Sementara itu, Adrianus menekankan bagaimana kejahatan itu bisa
dikendalikan. Pengendalian ini akan membentur tembok tebal jika budaya
kekerasan di dalam masyarakat masih ada. (sumber; http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/114295, Jum'at, 22 Maret 2013).
Menanggapi hal itu, pihak
media pun memberikan keterangan dan klarifikasi seputar penayangan dan
pemberitaan yang mereka siarkan mengenai kasus-kasus pembunuhan;
Pemimpin Redaksi Rajawali Citra Televisi Indonesia
(RCTI) Arief Suditomo yang dihubungi semalam mengatakan, ”Perilaku seseorang
tidak ditentukan dari pola konsumsi media yang diterima. Tidak serta-merta
seseorang jadi pembunuh atau bertindak seronok setelah menonton televisi.”
Meskipun demikian, ia mengatakan, pihaknya menghindari pemberitaan yang
bombastis dan sensasional, termasuk dalam tayangan kriminal. ”Kebijakan
editorial RCTI adalah bagaimana mengadvokasi dan menginspirasi serta
mendapatkan kepercayaan publik,” ujar Arief. Ia mencontohkan sosok Bang Napi di
Program Sergap yang diadakan untuk membangun kewaspadaan. Arief percaya sebuah
berita yang baik tidak bersifat bombastis.
Levi Siahaan, produser feature kriminal di sebuah stasiun televisi
swasta, mengatakan, tayangan kejahatan yang berlebihan memang bisa
menginspirasi. ”Berita kriminal menempatkan penjahat menjadi tokoh sentral, dan
seolah-olah menjadi sosok penting. Banyak reporter televisi lupa akan fungsi
edukasi media,” kata Siahaan.
Dodo, reporter senior berita kriminal di sebuah stasiun televisi,
menambahkan, liputan dan tayangan berita kriminal sudah seperti perburuan
sensasi infotainment. ”Yang dicari hanya kehebohan. Dampak pemberitaan kerap
diabaikan,” kata Dodo.
Jadi
menurut kami, Media juga tidak bisa 100% dipersalahkan karena pastinya
masyarakat akan selalu menemukan berbagai hal yang baru tanpa harus melihat
media. Hanya saja tentunya, dari pihak media juga dengan bijak mampu
memilah-milah dan menayangkan berita dengan baik, tanpa harus merusak
nilai-nilai dan norma yang sudah ada. Berbagai segi positif dari media juga
memberi banyak manfaat dan kontribusi dalam menekan angka kejahatan. Dalam hal
ini, kasus mutilasi walaupun berdampak pada masyarakat terutama masyarakat
dengan strata pendidikan yang rendah namun sebagian besar disebabkan bukan
karena media melainkan karena pola pikir dan mindset dari masyarakat itu
sendiri.
Kasus
mutilasi yang marak terjadi ini pastinya akan membawa dampak positif maupun
negatif, tergantung dari mana kita melihat konteksnya. Kita harusnya dengan
bijak mampu melihat sisi positif dari pemberitaan yang gencar mengenai kasus
mutilasi ini yaitu kita diminta untuk senantiasa berhati-hati dan senantiasa
menjaga lingkup pergaulan kita dari pengaruh yang buruk.
Bab. IV
Kesimpulan
Dari sini kami dapat mengambil kesimpulan bahwa pelaku Homoseksual
merupakan seseorang yang mengalami perubahan seksualitas dari masa pubertasnya,
atau jika dilihat dari 5 fase Psikoseksual adalah dimulai dalam tahap fase
Latency. Kelainan ini bisa merupakan perubahan orientasi seksualnya sendiri
atau karena perasaan traumatis sedari masa kecilnya dimana dia mengalami
pelecehan seksual berulang kali. Dengan demikian, adanya dorongan seksual yang
menyimpang, yang tersimpan di alam bawah sadarnya untuk memenuhi pemenuhan
kebutuhan seksual menjadi dorongan seksual kepada sesama jenis.
Pelaku kasus mutilasi dengan latar belakang kelainan seksual
memiliki motif asmara dimana si pelaku tidak menginginkan korbannya, yaitu pasangannya
untuk pergi meninggalkan dia (pelaku). Perasaan cemburu dan perasaan terhina
akan membuat seorang Homoseksual akan melakukan apa saja supaya pasangannya
tidak pergi meninggalkannya, termasuk menghabisi nyawa pasangannya. Perasaan
puas yang mereka dapatkan saat memutilasi korbannya adalah klimaks dar
tindakannya dalam menghabisi nyawa korbannya itu.
Didalam kehidupan Homoseksual, akan menjadi berbeda apabila
disamakan dengan Waria. Jika Waria adalah seseorang lelaki yang ingin mengubah
identitas kelaminnya, namun tidak demikian dengan Homoseksual. Kaum Homoseks
membutuhkan peranan dalam hidup berpasangan. Peranan itu menempatkan seorang
pasangan menjadi seperti seorang istri (perempuan). Jika salah
seorang dari pasangan Homoseks ini hilang (lari, selingkuh, kembali menjadi
pria sesuai fungsi tubuhnya <menjadi normal>, atau meninggal), maka
homoseks pasangannya mengalami krisis peran dan krisis eksistensi.
Disini, media
massa pun juga turut andil dalam berbagai macam tindak kejahatan mutilasi
karena selalu menayangkan proses rekonstruksi ataupun memasang gambar-gambar
sadisme korban pembunuhan. Masyarakat yang kebanyakan adalah masyarakat dengan
strata pendidikan menengah kebawah tentunya lebih mudah terpengaruh dan
mengimitasi perbuatan kejahatan ini apabila mereka dihinggapi insting membunuh
saat merasa emosinya meledak.
Oleh karena itu,
masyarakat perlu diberikan penyuluhan dan pengertian mengenai kelainan seksual
(Homoseks dan Lesbian), dan bentuk-bentuk kejahatan yang melatarbelakanginya
karena tidak semua Homoseksual mempunyai insting membunuh Psikopat dan tidak
semua Homoseksual itu adalah buruk. Selain itu pula pendidikan ini memberikan
pengertian kepada masyarakat mengenai perbedaan kaum Homoseksual, kaum
Biseksual, dan kaum Heteroseksual.
Karena pada
umumnya, masyarakat tidak bisa membedakan mana itu Waria dan mana itu Gay. Sama
seperti mereka tidak bisa membedakan mana Lesbian dan mana yang Biseksual.
Pemahaman ini perlu dijelaskan kepada masyarakat agar masyarakat tahu motif
kelainan seksual yang mendasari suatu kasus pembunuhan, berikut dengan
penanganannya yang juga berbeda bila dibandingkan dengan pembunuhan berencana
biasa atau psikopat.
Daftar Sumber
KBBI terbitan Balai Pustaka Cetakan
ke-1 Edisi I, 28 Oktober 1988 (sumber;http://badanbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi).
KBBI Cetakan ke-9 Edisi IX terbitan
Balai Pustaka – Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1997.
Webster's
Unabridged Dictionary Webster ® 1913 Dictionary edited
by Patrick J. Cassidy (sumber; http://www.answers.com/topic/mutilation).
The American
Heritage Stedman's Medical Dictionary Copyright © 2002, 2001,
1995 by Houghton
Mifflin Company (sumber; http://www.answers.com/topic/mutilation).
William C. Burton, Burton's Legal
Thesaurus, 3rd ed, New
York Library: ©McGraw-Hill Dictionary, 1998" (sumber; www.hukumonline.com).
(American Psychological
Association) APA Dictionary of
Psychology ®
Gary R. VandenBos, PhD, 2007.
Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi, 2009 – Mata Studi Psikologi Umum Smt. 1
a General Introduction to Psychoanalysis ® Psikoanalisis Sigmund Freud – Ikon Teralitera Yogyakarta, 2002.
APA (American Psychological Association), 2005 © Kurdek, 2001, 2003,
2004; ® Peplau & Fingerhut, 2007.
www.kompas.com
14 januari 2012